Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Literasi Gaya Hidup, Biar Tekor Asal Kesohor

20 Desember 2019   10:09 Diperbarui: 21 Desember 2019   00:41 676
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mendongkrak gaya hidup, bisa jadi konsekuensi era digital. Eksistensi manusia lebih diukur dari gaya hidupnya. Maka wajar bila akhirnya, lebih besar pasak daripada tiang. Karena terlalu memaksakan gaya hidup. Biar dibilang keren, dibilang mantul. Akibat gengsi dan status sosial, gaya hidup jadi lebih ditonjolkan.

Bila ada pejabat terlibat di penjara akibat korupsi, artis yang berani pasang "rate" per sekali kencan. Atau bahkan gemar dugem, jiwa konsumtif, hedonis, hingga terlibat narkoba. Semua itu berpangkal dari "gaya hidup yang berlebihan". Gaya hidup, biar tekor asal kesohor.

Apakah mereka kekurangan uang?

Sama sekali tidak. Karena uang itu hanya sebagian kecil dari rezeki. Mereka hanya punya gaya hidup yang berlebihan. Lupa bersyukur. Maka jadi masalah, hingga jatuh ke lubang kesengsaraan. 

Ada sinyalemen, 3 dari 10 orang Indonesia punya perilaku negatif akibat gaya hidup. Dan faktanya kini, sekitar 15,6 juta orang Indonesia mengalami depresi alias gangguan jiwa akibat gaya hidup.

Gaya hidup, atau bahasa kerennnya lifestyle itu jahat.

Karena gaya hidup itu sifatnya memaksa, terlalu mengumbar nafsu. Agar dibilang mentereng. Citranya bagus. Karena mampu bergaya dalam hidup. Walau hanya terlihat dari "bungkus"-nya saja. Agar kelas sosial-nya meningkat. 

Maka wajar hari ini, berapa banyak orang yang terseret ke dalam gaya hidup di luar kemampuannya. Berjiwa konsumtif, hedonis, dan mencintai "kesenangan sesaat". 

Gaya hidup yang dipaksakan, bukan apa adanya. Di situlah pentingnya literasi gaya hidup. Cara sederhana memahami dan memampukan kendali terhadap gaya hidup di era supermodern seperti sekarang.

Mengapa hari ini banyak orang depresi? Bisa jadi karena mereka tidak mampu mengendalikan gaya hidup. Terjebak gaya hidup di luar kemampuannya. Bagi mereka, kemuliaan atau kesuksesan  hanya dilihat dari penampilan fisik. Atau gaya gaya hidup semata.

Gaya hidup itu hanya sekunder, bukan primer. Tapi sayangnya, banyak orang ingin mengubah gaya hidupnya. Hingga lebih senang menonjolkan kemewahan, konsumerisme, dan hedonisme yang bersifat sesaat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun