Era digital memang sudah mengubah gaya hidup manusia.
Tidak terkecuali mahasiswa. Sebagai generasi penerus dan insan akademis pun mulai menyingkirkan tradisi membaca buku. Hasil survei penulis baru-baru ini pada 120 mahasiswa di Jakarta, diperoleh angka 44% mahasiswa lebih senang chating di gawai, 23% membaca buku, 18% bermain game online, dan 15% menonton TV. Apa artinya? Ini sinyal bahwa tradisi memaca di kalangan mahasiswa bisa jadi sudah luntur akibat gempuran era digital dan dinamika gaya hidup teknologi.
Sungguh, Indonesia dihadapkan pada tantangan besar untuk menegakkan tradisi membaca dan budaya literasi di masyarakatnya. Jangan masyarakat umum, insan akademis pun mulai menjauh dari perilaku dan gaya hidup ilmiah. Akses digital yang serba mudah, suka tidak suka, sudah melunturkan kebiasaan membaca mahasiswa. Kondisi ini bisa jadi memprihatinkan. Apalagi bagi masyarakat kampus, tumbuh suburnya budaya membaca seharusnya menjadi acuan dalam mengukur kualitas pendidikan dan kemajuan baik secara personal maupun sosial.
Tradisi membaca dan budaya literasi kian mengendor di kalangan mahasiswa. Maka semua pihak, patus melakukan antisipasi terhadap gejala ini. Karena dampaknya, budaya menulis pun di kalangan mahasiswa pun akan lebih rendah lagi.
Maka agak wajar, bilalaporan Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 yang dirilis OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) menyebut peringkat membaca, matematika, dan sains siswa Indonesia menurun alias jeblok. Skor kemampuan membaca, matematika, dan sains Indonesia hanya berada di urutan ke-72 dari 78 negara. Skor kemampuan membaca siswa Indonesia turun dari 397 poin ke 371 poin. Maka saat menjadi mahasiswa pun, tradisi baca menjadi lemah.
Dominasi gawai atau gadget di mahasiswa pun, kini bisa dilihat dari pemandangan di lingkungan kampus yang lebih banyak terlihat mahasiswa sedang bermain gawai daripada membaca buku atau berdiskusi. Di kampus, makin jarang mahasiswa yang nongkrong sambil membaca buku atau berdiskusi. Bahkan mungkin, perpustakaan pun mulai sepi. Kecuali mahasiswa yang sedang punya kepentingan menulis skripsi atau tugas kuliah.
Kampus hari ini tidak sesakral dulu.Â
Tradisi membaca langka, perilaku menulis pun hanya prasangka. Membaca dan menulis di kalngan mahasiswa muali luntur. Bila tidak mau dianggap punah. Gaya hidup masyarakat kampus pun mulai berubah. Chating di gawai dan main game online sudah intervensi ke kampus. Berkat gawai, semua serba instan. Tinggal googling lalu copy paste, maka jadilah semua yang diinginkan mahasiswa.
"Chating di gawai sudah mengalahkan tradisi membaca mahasiswa. Bahkan esok, bermain pun akan meluluhkan buaya membaca mahasiswa. Maka patut diantisipasi, agar kalangan kampus menghidupkan kembali tradisi membaca mahasiswa. Baik melalui tugas mata kuliah maupun organisasi mahasiswa yang berorientasi pada kegiatan membaca dan menulis. Karena idelanya, mahasiswa memang harus membentengi diri dengan ilmu dan pengetahuan. Dan salah satu caranya diperoleh melalui kegiatan membaca" ujar Syarifudin Yunus, pegiat literasi dan Dosen Unindra.
Membaca hakikatnya, bukan sekedar tahu dan paham. Akan tetapi, membaca pun dapat membentuk cara pandang dan sikap kritis dalam bernalar terhadap realita realitas kehidupan. Itulah yang disebut masyarakat literat. Masyarakat yang sadar akan pentingnya budaya literasi.
Fenomena rendahnya tradisi membaca mahasiswa memang sudah diduga. Karena faktanya, menurut riset Perpusnas RI tahun 2017, orang Indonesia hanya memiliki durasi waktu membaca per hari rata-rata hanya 30-59 menit, kurang dari sejam. Sedangkan, jumlah buku yang dibaca tuntas per tahun rata-rata hanya 5-9 buku. Kondisi ini, tentu jauh di bawah standar UNESCO yang menyarankan durasi waktu membaca tiap orang 4-6 jam per hari.