"Bos, apapun hasilnya. Seusai nyoblos, harusnya kita semua dalam keadaan yang plong. Agar kita merasa lega, lebih bebas dari beban pikiran macam-macam" ujarku.
"Plong, gimana? Kan belum ada hasilnya. Apalagi gue udah habis-habisan" sergah Sang Politikus.
"Loh, semua proses kan sudah dijalani. Kampanye sudah, coblos sudah. Jadi, kita tunggu saja. Asal kita tetap besar hati, tidak perlu emosi" kataku.
Plong itu keadaan jiwa yang dibutuhkan hari ini.
Karena sebentar lagi, kita tahu siapa presiden yang dipilih rakyat. Suasana plong. Agar tidak ada lagi caci-maki, hujatan, bahkan ujaran kebencian. Ibarat jomblo yang bertahun-tahun pacaran, lalu akhirnya bisa menikah. Pasti perasaannya plong. Berjiwa plong. Agar kita kembali jernih. Tetap rendah hati dan tidak perlu berlebihan. Karena nantinya, Allah SWT pasti punya alasan yang tepat untuk menempatkan bangsa ini seperti apa, siapapun presiden-nya.
"Bos, sebagai teman, gue berharap elo bisa jadi politisi yang plong. Bisa menerima realitas" saranku.
"Lah, gimana caranya bisa plong. Kan penghitungan suara belum kelar. Ya, kita tunggu saja hasilnya" kata Sang Politikus bernafsu.
"Iya, gue hanya saran agar plong. Bukan malah jadi blong. Karena bila blong, maka kita jadi kebablasan. Karena gak ada lagi yang menahan. Gagal berjiwa besar" jelasku padanya.
Sungguh, politik telah mengkoyak segalanya, pikirku lagi.
Begitu banyak pendukung capres. Berjibaku setiap hari untuk membenci, lalu menghujat. Seolah mereka sudah blong bukan plong. Mereka sering lupa. Bila kita merasa baik, belum tentu orang lain tidak baik. Bila kita tidak bisa sama, mengapa tidak boleh beda?
Karena itu, menyikapi pilpres yang baru saja terjadi. Sikap plong lebih penting daripada blong. Agar semua pihak bisa lebih realistis. Menerima apapun hasilnya. Kita sudah ikhtiar, sudah berdoa. Tingga menunggu hasilnya. Pasti itu semua atas kehendak-Nya, begitu kata batinku.