Pagi itu, langit berkabut tipis. Aku tertengadah menyaksikan hamparan langit di media sosial. Sinar mentari pun sepertinya belum mampu mengusir kegalauan. Resah, angka-angka hitung cepat hasil pilpres 2019 kian mendebarkan.
Sambil menonton TV, sang politikus berkata "Gue harus menang. Bila kalah pasti ada kecurangan".
Aku hanya mendengarkan. Berusaha memahami kondisi psikologis yang dialaminya. Maklum, pilpres telah menghancurkan segalanya. Pertemanan yang terkoyak. Fakta yang terfitnah. Hingga cacian bertebaran di mana-mana. Beruntung, aku dan sang politikus masih bisa bertahan. Tetap merajut pertemanan sekalipun punya pilihan yang berbeda.
"Gue udah habis-habisan. Maka pantas dong gue menang" kata Sang Politikus.
"Sabar bos. Habis-habisan kan bukan berarti harus menang. Kita tunggu saja, pengumuman resmi KPU. Asal apapun hasilnya, kita harus legowo untuk menerma" kataku sambal menpuk pundaknya.
"Iyaa... Tapi quick count di TV itu bikin emosi. Padalah, exit poll di TPS, gue menang" tegas Sang Politikus.
"Hahaha, gampang saja bos, Quick count gak usah ditonton. Itu kan cuma metode ilmiah, Cuma estimasi. Kalau suka ya diterima, kalau gak suka ya tolak saja. Gampang kan..." kataku lagi.Â
Â
Aku, kemudian berpikir.
Memang pilpres kali ini begitu menyedot emosi banyak orang. Bahkan membelah rakyat ke dua ktub yang berseberangan. Saling adu argumen, saling menjatuhkan. Tapia da yang dilupkan. Bahwa pilpres hanya alat berdemokrasi dalam memilih pemimpin. Jadi harusnya, setelah pencoblosan. Penting untuk menjaga suasana lebih tenang, lebih adem.
Sambil menikmati tegukan kopi. Aku pun mendekat ke sang politikus.