Saya yakin. Dulu, Ibu Kartini berjuang untuk emansipasi pasti bukan atas dasar pemberontakan perempuan terhadap kodrat keperempuanan-nya. Agar jangan ada anak yang kesepian di rumah; atau merasa hanya punya "ibu semu". Karena ibu aslinya, menurut anak-anak adalah internet.
Perjuangan Ibu Kartini sudah pas. Tapi ada yang belum diantisipasi.
Karena sejarah membuktikan. Ada perempuan-perempuan yang akhirnya gak bisa dibela oleh suaminya, seperti istri Nabi Nuh, istri Nabi Luth. Mereka terkena petaka karena ulahnya. Tapi ada pula para perempaun hebat seperti Siti Hajar, Siti Aisyah bahkan Zulaikha yang semasa hidupnya mengemban amanat mulia semasa di dunia untuk keperluan akhiratnya.
Jadi Bu, apa yang saya mau katakana kepada Ibu?
Penting hari ini untuk mengingatkan kaum Ibu. Bahwa introspeksi diri dan harapan harus selalu ada. Karena Kartini itu sikap, bukan ambisi. Maka tranformasi emansipatoris bukanlah untuk diri sendiri. Tapi lebih luas dari itu, untuk membangun harapan dan kemaslahatan bagi orang banyak. Agar kaum perempuan menjadi tempat dan kesempatan menghidupkan kembali solidaritas dan harapan di negeri ini.
Karena apapun yang terjadi, lebih baik kita menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan. Harapan bukan cercaan. Karena Kartini adalah sebuah sikap bukan ambisi. Terima kasih Bu Kartini... salam ciamikk. #SelamatHariKartini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H