Banyak pekerja dan perusahaan belum paham manfaat DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan). Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang merasa "sudah cukup" menjadi peserta Jaminan Hari Tua (JHT) dari BPJS Ketenagakerjaan.Â
Tentu, bila mau didiskusikan sangat panjang. Tapi intinya, program JHT yang selama ini dimiliki pekerja pada dasarnya hanya dapat memenuhi kebutuhan dasar seorang pekerja di hari tua, di saat tidak bekerja lagi. Artinya kebutuhan dasar, berarti sebatas kebutuhan pokok sehari-hari. Bukan untuk membiayai gaya hidup atau yang lainnya di hari tua.
Mengapa hanya kebutuhan dasar?
Banyak literasi dan riset menyatakan bahwa seorang pekerja membutuhkan tingkat penghasilan pesiun (TPP) sebesar 70%-80% dari gaji terakhir. Sebagai contoh, pekerja dengan gaji terakhir sebelum pensiun Rp. 10 juta maka saat dia pensiun dibutuhkan dana Rp. 7-8 juta per bulan untuk membiayai kebutuhan dasar hidupnya, termasuk untuk mempertahankan gaya hidup seperti saat bekerja.Â
Sedangkan dana JHT yang diambil secara sekaligus, diprediksi hanya bisa meng-cover 30% dari TPP tersebut. Maka ada kekurangan sebesar Rp. 4-5 juta per bulan. Masalahnya, dari mana kekurangan dana di masa pensiun tersebut bisa diperoleh?
Suka tidak suka, maka salah satu cara paling efektif adalah menjadi peserta DPLK.
Karena DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan) merupakan program pensiun sukarela yang didedikasikan untuk menyiapkan ketersediaan dana di masa pensiun, di hari tua.Â
Dengan menyetorkan sejumlah uang berupa "iuran" secara rutin setiap bulan, dan nantinya "dikembangkan' sesuai dengan pilihan investasi si peserta maka uang DPLK yang dimiliki akan bisa optimal. Dan hebatnya DPLK, dana yang terkumpul hanya dapat dicairkan atau dibayarkan sebagai manfaat pensiun pada saat si pekerja memasuki usia pensiun.
Tapi sayangnya, hingga saat ini, hanya 3 juta pekerja saja dari 50 juta pekerja formal atau 70 juta pekerja informal yang ada di Indonesia yang telah menjadi peserta DPLK. Itu berarti tidak lebih dari 5 juta pekerja yang telah menjadi peserta DPLK.Â
Sementara puluhan juta pekerja lainnya bisa jadi tidak memiliki "kepastian ekonomi" di masa pensiun. Maka wajar, riset membuktikan bahwa 70% pekerja di Indonesia pada akhirnya mengalami masalah finansial justru di masa pensiunnya. Sebuah kondisi yang memprihatinkan.
Rendahnya tingkat kepesertaan pekerja atau perusahaan pada program DPLK, bisa jadi, dikarenakan kurang paham akan manfaat DPLK, di samping faktor edukasi dan sosialisasi yang belum optimla dari industri DPLK itu sendiri.