Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memprihatinkan, Potret Pendidikan Indonesia Masa Kini

2 Mei 2018   10:43 Diperbarui: 2 Mei 2018   11:16 7818
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: edukasi.kompas.com

Potret pendidikan di Indonesia cukup memprihatinkan. Tiap tanggal 2 Mei selalu diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Lalu, bagaimana mutu pendidikan di Indonesia setelah 129 tahun diperjuangkan oleh Ki Hajar Dewantara?

Sungguh sulit, dari mana kita memulai diskusi tentang mutu pendidikan? Di era milenial, memang makin banyak orang pintar di negeri ini. Tapi nyatanya, pendidikan seakan makin dikebiri oleh banyak kepentingan. Makin maju bangsa ini, pendidikan makin jadi polemik. Maka, mutu pendidikan pun menjadi taruhannya. Besarnya anggaran pendidikan yang mencapai 20% dari total APBN atau senilai Rp. 419 triliun, harus diakui, tidak berkontribusi signifikan terhadap mutu pendidikan. 

Data UNESCO dalam Global Education Monitoring (GEM) Report 2016, mutu pendidikan di Indonesia hanya menempati peringkat ke-10 dari 14 negara berkembang. Sedangkan kualitas guru sebagai komponen penting dalam pendidikan tergolong memprihatinkan, berada di urutan ke-14 dari 14 negara berkembang di dunia.

Mutu pendidikan, masih menjadi soal di Indonesia. Adalah fakta 75% sekolah di Indonesia tidak memenuhi standar layanan minimal pendidikan. Bahkan kualitas pendidikan Indonesia berada di  peringkat 40 dari 40 negara (The Learning Curve, 2014). Belum lagi maraknya kekerasan yang terjadi di sekolah. Berapa banyak siswa yang meregang nyawa akibat kekerasan di dunia pendidikan? Berdasarkan Ikhtisar Eksekutif Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak 2016-2020 oleh Kemen-PPPA terlihat bahwa 84% siswa pernah mengalami kekerasan di sekolah dan 50% anak pernah mengalami perundungan (bullying) di sekolah.

Sementara potret lainnya, sekitar 27 persen pengguna narkoba di Indonesia berasal dari kalangan pelajar dan mahasiswa (Puslitkes UI dan BNN, 2016). Data yang mencengangkan dan mewarnai pendidikan di Indonesia adalah 24 persen mahasiswa dan 23,3 persen pelajar setuju dengan jihad untuk tegaknya negara Islam (Survei BIN, 2017). Pendidikan di Indonesia, boleh dibilang salah arah jika tidak ingin disebut gawat darurat. Mulai dari krisis identitas, krisis tindak kekerasan, hingga krisis kebangsaan menyelimuti langit pendidikan di Indonesia.

Pendidikan nasional tengah mengalami disorientasi. Banyak hal yang harus diubah dan dibenahi dalam pendidikan Indonesia. Pendidikan Indonesia hari ini boleh dibilang pendidikan yang berorientasi pada "tahu sedikit tentang banyak hal, tetapi tidak tahu banyak tentang satu hal."

dok.pribadi
dok.pribadi
Mutu Pendidikan

Sangat mendesak untuk membenahi mutu pendidikan di Indonesia hari ini. Salah satu caranya adalah membenahi kualitas guru. Harus ada langkah serius untuk membenahi kualitas guru. Karena nyatanya, tidak sedikit guru yang hari ini tetap saja menjalankan proses belajar-mengajar dengan pola "top-down". 

Guru seolah berada "di atas" dan siswa berada "di bawah", guru bertindak sebagai subjek dan siswa objek belajar. Guru merasa berkuasa untuk "membentuk" siswa. Ibaratnya, guru bertindak sebagai "teko" dan siswa sebagai "gelas" sehingga siswa berstatus hanya menerima apapun yang dituangkan guru. Siswa tidak diajarkan untuk mengeksplorasi kemampuan dirinya; siswa yang disuruh tanpa diajarkan untuk mengenal dirinya.

Guru sering lupa. Belajar bukanlah proses untuk menjadikan siswa sebagai "ahli" pada mata pelajaran tertentu. Siswa lebih membutuhkan 'pengalaman" dalam belajar, bukan "pengetahuan". Karena itu, kompetensi guru menjadi syarat utama tercapainya kualitas belajar yang baik. Guru yang kompeten akan meniadakan problematika belajar akibat kurikulum. Kompetensi guru harus berpijak pada kemampuan guru dalam mengajarkan materi pelajaran secara menarik, inovatif, dan kreatif yang mampu membangkitkan gairah siswa dalam belajar.

Mutu pendidikan akan tetap omong kosong. Bila hari ini, guru masih mengajar dengan cara-cara lama. Guru harus mampu mengubah kurikulum menjadi unit pelajaran yang mampu menembus ruang-ruang kelas. Guru tidak butuh kurikulum yang mematikan kreativitas siswa. Seharusnya, guru menjadi sosok yang tidak dominan di dalam kelas. Karena guru bukan pendidik yang berbasis kunci jawaban. Tapi sebagai penuntun siswa agar tahu bidang pelajaran yang paling digemarinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun