Pertama, ketidaksesuaian disiplin ilmu dengan bidang ajar (miss-match). Masih banyak guru di sekolah yang mengajar mata pelajaran yang bukan bidang studi yang dipelajarinya. Hal ini terjadi karena persoalan kurangnya guru pada bidang studi tertentu.
Kedua, kualifikasi guru yang belum setara sarjana. Konsekuensinya, standar keilmuan yang dimiliki guru menjadi tidak memadai untuk mengajarkan bidang studi yang menjadi tugasnya. Bahkan tidak sedikit guru yang sarjana, namun tidak berlatar belakang sarjana pendidikan sehingga "bermasalah" dalam aspek pedagogik.
Ketiga, program peningkatan keprofesian berkelanjutan (PKB) guru yang rendah. Masih banyak guru yang "tidak mau" mengembangkkan diri untuk menambah pengetahuan dan kompetensinya dalam mengajar. Guru tidak mau menulis, tidak membuat publikasi ilmiah, atau tidak inovatif dalam kegiatan belajar. Guru merasa hanya cukup mengajar.
Keempat, rekrutmen guru yang tidak efektif. Karena masih banyak calon guru yang direkrut tidak melalui mekanisme yang professional, tidak mengikuti sistem rekrutmen yang dipersyarakatkan. Kondisi ini makin menjadikan kompetensi guru semakin rendah.
Adalah fakta di tahun 2016, kualitas pendidikan di Indonesia berada di peringkat ke-62 dari 69 negara. Hal ini menjadi cermin konkret akan kualitas dan kuantiitas guru di Indonesia. Maka harus ada langkah serius untuk membenahi kualitas guru. Bagaimana tidak? Karena nyatanya, tidak sedikit guru yang hari ini tetap saja menjalankan proses belajar-mengajar dengan pola "top-down". Guru seolah berada "di atas" dan siswa berada "di bawah", guru bertindak sebagai subjek dan siswa sebagai objek belajar.Â
Guru merasa berkuasa untuk "membentuk" siswanya. Ibaratnya, guru menjadi "teko" dan siswa sebagai "gelas" sehingga siswa berstatus hanya menerima apapun yang dituangkan guru. Siswa tidak diajarkan untuk mengeksplorasi kemampuan dirinya. Siswa hanya bisa disuruh tanpa diajarkan untuk mengenal dirinya lalu mampu bertahan hidup.
Belajar bukanlah proses untuk menjadikan siswa sebagai "ahli" pada mata pelajaran tertentu. Siswa lebih membutuhkan 'pengalaman" dalam belajar, bukan "pengetahuan". Karena itu, kompetensi guru menjadi syarat utama tercapainya kualitas belajar yang baik. Guru yang kompeten akan "meniadakan" problematika belajar akibat kurikulum. Kompetensi guru harus berpijak pada kemampuan dalam mengajarkan materi pelajaran secara menarik, inovatif, dan kreatif yang mampu membangkitkan gairah siswa dalam belajar.
Maka hari ini, sangat dibutuhkan guru-guru yang mampu mengubah kurikulum menjadi unit pelajaran yang mampu menembus ruang-ruang kelas. Kelas sebagai ruang sentral interaksi guru dan siswa harus menyenangkan. Guru tidak butuh kurikulum yang mematikan kreativitas. Seharusnya, guru menjadi sosok yang tidak dominan di dalam kelas. Guru bukan orang yang tahu segalanya. Guru bukan pendidik yang berbasis kunci jawaban. Tapi guru penuntun siswa agar tahu bidang pelajaran yang paling disukainya.
Tujuan besar perubahan kurikulum, tentu akan sia-sia apabila mindsetguru tidak berubah. Guru adalah creator dan tidak perlu text book terhadap kurikulum. Guru tidak boleh nyaman dengan cara belajar yang satu arah. Sekali lagi, mutu pendidikan hanya bisa terjadi bila guru mengajar dengan hati, bukan hanya logika.
Jadi, mutu pendidikan ada di tangan guru. Kurikulum memang penting tapi tidak urgen bagi kualitas pendidikan. Menteri sehebat apapun tidak terlalu penting bagi mutu pendidikan. Kasihan dunia pendidikan kita. Sudah terlalu banyak diskusi tentang teori-teori untuk memajukan pendidikan. Terlalu banyak berdebat tentang pelaksanaan kurikulum. Tapi sayang, kita terlalu sedikit bertindak untuk membenahi kompetensi dan mentalitas guru dalam mendidik.