Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Kandidat Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 47 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Filosofi Rengginang

14 November 2017   21:48 Diperbarui: 14 November 2017   22:01 4428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kamu suka rengginang gak?

Kalo saya suka banget sama panganan rengginang. Karena rengginang renyah, serenyah hidup kita. Tapi sayang, banyak orang bilang rengginang itu makanan kampung. Bisa jadi, orang yang doyan rengginang dibilang kampungan. Maklum aja, orang zaman now lebih suka panganan bermerek "bule". Bahasanya keren, tempatnya berkelas. Sedangkan rengginang, gak banget deh...

Biar panganan kampung, bikin rengginang itu gak mudah.

Butuh proses yang lama. Walau harganya gak mahal-mahal banget. Maklum, rengginang itu kan terbuat dari nasi atau beras ketan. Harus dijemur dulu, dikeringkan lalu digoreng. Rengginang yang renyah dan enak, harus melewati proses itu semua. Kalo gak, gak bakal nikmat. Bahkan gak sedikit pula, rengginang itu dibuat dari sisa nasi atau ketan yang gak termakan. Iya, sisa nasi atau ketan yang dibikin rengginang. Maka wajar, rengginang gak bonafid banget...

Di zaman now, banyak orang udah lupa. Rengginang itu nikmat banget. Apalagi makannya saat hari hujan, bareng secangkir kopi plus baca buku. Sambil ngeliat pemandangannya gunung atau laut. Woww, pasti ciamikk rasanya. Renyah tapi nyaman. Rileks tapi indah semuanya.... Keadaan yang didamkan banyak orang zaman now.

Sesuatu banget, kalo lagi mengunyah rengginang. Karena suara kunyahan rengginang plus renyahnya, pasti jadi nada yang khas. Krauk, krauk. Itulah kenikmatan yang patut disyukuri saat mengunyah rengginang.

Katanya secara filosofis, rengginang itu simbol "persatuan". Karena ia tersusun dari butiran nasi atau beras ketan yang saling berhimpitan; sesuai posisinya. Bertumpukan tapi saling mengisi ruang. Erat sekali. Satu sama lainnya saling bersatu; gak mudah dipecah-belah. BERSATU itu penting buat rengginang.

Bahkan rengginang juga sering disebut simbol "kemakmuran". Karena terbuat dari beras atau ketan, yang jadi simbol kemakmuran. Gemah ripah loh jinawi; sebagai wujud sedekah bumi kepada manusia. Renyah bin nikmat dah...

Cuma, rengginang biar tetap renyah, jangan lupa simpan di toples. Toples yang tertutup rapat, biar gak mlempem. Toples-nya pun sebaiknya transparan. Biar bisa kelihatan dari luar. Jadi, rengginang masih renyah apa udah mlempem bisa ketahuan.

Maklum zaman now, jangan sampe ketipu. Kadang toples-nya bagus tapi isinya jelek. Atau sebaliknya, toplesnya jelek tapi isinya keren.

Kayak orang zaman now. Banyak orang yang tampilannya bagus tapi perilakunya jelek. Begitu juga sebaliknya. Maklum zaman now, gitu lo...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun