Dalam rangka menyambut Bulan Bahasa dan Sastra Tahun 2017, IKA BINDO Â Ikatan Alumni Bahasa dan Sastra Indonesia (IKA BINDO) Universitas Negeri Jakarta mengimbau para politisi dan tokoh nasional untuk bersikap santun dalam berbahasa. Merebaknya ujaran kebencian di tengah masyarakat, berita bohong hingga kasus Saracen menjadi sinyal hilangnya sikap santun berbahasa. Maka, para politisi dan tokoh nasional harus menjadi teladan dalam berbahasa yang santun. Hal ini ditegaskan IKA BINDO UNJ dalam pencanangan Bulan Bahasa & Sastra 2017 di Jakarta hari ini.
"Merebaknya ujaran kebencian dan berita bohong itu melanggar kesantunan berbahasa. Di samping menyampaikan pesan, tujuan kita berbahasa itu untuk menjalin hubungan sosial, bukan malah merusaknya. Karena itu, politisi dan tokoh nasional harus sadar diri dalam berbahasa. Komentar dan ungkapan di dunia politik, tentu tidak boleh kontraproduktif dengan sikap santun berbahasa. Tidak asal ngomong. Berbahasa pun harus sesuai etika, tidak menabrak norma sosial dan budaya" ujar Syarifudin Yunus, Ketua IKA BINDO UNJ dan Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Indraprasta PGRI.
Adanya 800 ribu situs di Indonesia yang terindikasi sebagai penyebar ujaran kebencian (hate speech) dan berita bohong, IKA BINDO UNJ menganggap sangat dipengaruhi oleh gaya berbahasa para politisi dan tokoh nasional. Jika tokoh nasional berbahasa kasar dan penuh kebencian, maka masyarakat pun tergerak mengikutinya. Karena bahasa itu keteladanan, persis mengikuti tokoh yang diteladaninya.
IKA BINDO UNJ menyatakan sikap berbahasa yang santun penting dirajut kembali. Santun berbahasa dapat dilihat dari 1) aspek bahasa, seperti pilihan kata, intonasi, struktur kalimat, dan 2) aspek perilaku, seperti ekspresi dan gerak tubuh. Sikap santun berbahasa harus tercermin dalam komitmen untuk mau menghargai dan menghormati mitra bicara. Jika terjadi kebencian, maka kesantunan bahasa ternodai. Oleh karena itu, setiap ujaran harus memperhatikan aspek perlokusi, berupa efek yang ditimbulkan dalam berbahasa.
"Berbahasa yang santun adalah berbahasa yang lugas namun tetap baik. Jika efek dari ujaran menimbulkan kebencian atau ketersinggungan, berarti ada yang salah dalam berbahasa" tambah Syarifudin Yunus.
Berdasarkan studi IKA BINDO UNJ, sikap berbahasa yang tidak santun timbul karena: 1) ingin mengkritik dilandasi pikiran negatif, 2) komentar atas dasar emosi personal, 3) berbicara didorong kecurigaan, dan 4) berniat memojokkan lawan politik.
Oleh karena itu, di tengah suhu politik yang semakin "panas" ke depan, politisi dan tokoh nasional untuk lebih hati-hati dalam berkomentar, di samping tetap santun dalam berbahasa. Jika perlu, menurut IKA BINDO UNJ, ada baiknya para politisi dan tokoh nasional ikut Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI) sebelum berbicara kepada publik atau media massa.
Syarifudin Yunus menambahkan, "Maraknya ujaran kebencian dan berita bohong harus dilihat sebagai ancaman terhadap eksistensi Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Pragmatisme politik untuk meraih kekuasaan atau popularitas bukan cara yang dalam berbahasa. Bahasa yang tidak santun pasti merusak karakter bangsa Indonesia yang dikenal ramah dan santun selama ini".
Melalui momentum Bulan Bahasa dan Sastra -- Oktober 2017 ini, IKA BINDO UNJ menilai persoalan Bahasa Indonesia saat ini semakin kompleks. Di samping serbuan pemakaian bahasa asing yang kian marak, Bahasa Indonesia pun ditantang untuk menjadi alat komunikasi yang penuh kesantunan, sebagai bahasa persatuan bukan bahasa perpecahan. Oleh karena itu, dibutuhkan strategi nasional untuk merevitalisasi penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa yang mampu membangun karakter bangsa Indonesia yang lebih santun dan berbudaya.
"Eksistensi bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu telah memasuki 89 tahun. Dan kini, kita dihadapkan pada keadaan krisis berbahasa yang santun. Maka semua pihak harus mengambil sikap positif dalam berbahasa. Jangan gunakan bahasa untuk manipulasi politik" tambah Syarifudin Yunus.
Tentang IKA BINDO UNJ