Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Asesor Kompetensi Dana Pensiun - Mantan Wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku diantaranya JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Di Ruang Publik, Bahasa Indonesia Terpinggirkan atau Dipinggirkan?

7 September 2017   21:19 Diperbarui: 7 September 2017   21:39 2161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Giliran ada orang salah ngomong, sekarang ahli bahasa baru dipanggil dan dimintai keterangan. Kenapa sih gak di balik, gak usah ngomong dulu sebelum tanya sama ahli bahasa. Di ruang publik, Bahasa Indonesia makin ke pinggir...

Bahasa Indonesia itu terpinggirkan atau dipinggirkan?

Kayaknya sih begitu. Ini cuma ungkapan atas ketidakpedulian masyarakat terhadap bahasa Indonesia. Eksistensi bahasa Indonesia terancam. Terpinggirkan karena dianggap tidak prestise. Dipinggirkan karena dianggap "kelas kedua" oleh pewarisnya sendiri, oleh pemakainya sendiri.

Katanya "bahasa menunjukkan bangsa". Ahh, bisa jadi itu hanya slogan semata. Buktinya, makin ke sini, makin banyak orang Indonesia yang lebih bangga menggunakan bahasa asing ketimbang bahasa Indonesia. Boro-boro mau jadi bahasa utama di kawasan ASEAN, di rumahnya sendiri saja, bahasa Indonesia semakin sulit "mendapat tempat di hati" pemakainya sendiri. Sungguh, ada sikap yang salah tentang cara pandang kita terhadap bahasa Indonesia.

Sekarang banyak orang paling jago ngomong nasionalisme. Tapi giliran diminta menggunakan bahasa Indonesia gak nasionalis. Gak ada bangga-bangganya pakai bahasa Indonesia. Kok bisa begitu sih?

Kita lebih senang menyebut istilah "office boy" atau "OB" daripada "pelayan kantor". Banyak orang merasa lebih keren bisa bilang "try out" dan "mid semester" daripada menyebut istilah "uji coba" dan "tengah semester". Itu baru soal penyebutan istilah, yang lebih senang memakai bahasa asing.

Belum lagi soal dilanggarnya hukum DM (Diterangkan-Menerangkan), yang seenaknya diganti jadi hukum MD. Namanya itu Bank Permata, bukan Permata Bank. Harusnya "Salon Surti" bukan "Surti Salon". Seharusnya itu "Servis Motor Kuple" bukan "Kuple Motor Service". Harusnya "Apartemen XXX" bukan "XXX Apartemen". Pantas, akhirnya bahasa Indonesia makin terpinggirkan.

Semakin ke mari, bahasa Indonesia memang makin terpinggirkan. Atau sengaja dipinggirkan.

Iklan menyebar di mana-mana. Tapi bahasa yang digunakan lebih banyak memakai bahasa asing. Sekalinya memakai bahasa Indonesia disajikan dengan tidak baku. Memang sih, semakin berkembangnya zaman, semakin penting pula kemampuan berbahasa asing. Namun tanpa disadari, bahasa Indonesia pun makin terpinggirkan. Cukup sadari itu saja...

Coba lihat saja sendiri. Sekarang ini makin banyak tempat-tempat umum yang lebih suka mengggunakan bahasa asing. Sebut saja: di mall, di perumahan, di restoran dan sebagainya. Belum lagi, anak-anak muda Indonesia yang merasa belum keren kalau belum berbicara dalam bahasa Inggris. "Hi brother, how are you today?". Bahkan sekarang, sudah semakin banyak judul skripsi atau tesis yang memakai bahasa asing. Itu di skripsi dan di tesis lho ...

Hebatnya lagi di Indonesia, ada hasil riset yang menyebutkan ada keluarga di kota-kota besar seperti Jakarta yang sengaja menjauhkan anak-anaknya dari bahasa Indonesia. Maka, para orang tua berlomba-lomba memasukkan anaknya ke sekolah internasional atau sekolah bilingual. Tujuannya, agar anak-anak mereka lebih terbiasa berbicara dalam bahasa Inggris.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun