”Senyuman itu kekayaan sejati. Karena setiap senyum yang kau tampakkan, adalah hadiah spesial bagi siapapun yang melihatnya.”
TELAH TERBIT Buku Kumpulan Cukstaw Cerpen "Bukan Senyuman Terakhir" karya Syarifudin Yunus bersama 73 mahasiswa.
Cukstaw Cerpen “Bukan Senyuman Terakhir” merupakan sebuah karya fiksi yang dikemas dengan cara yang beda. Beda cara belajarnya, beda prosesnya, dan beda penyajian karyanya. Inilah buah pembelajaran "Menulis Kreatif" mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Indraprasta PGRI 2015/2016.
Buku antologi ke-6 dari Mata Kuliah “Menulis Kreatif” ini menjadi “puncak” dari pembelajaran menulis kreatif. Tak hanya teori dan kognitif semata, tapi menulis dan berkarya. Kisah fiksi yang “dipaksa” untuk dituliskan, diekspresikan melalui proses belajar. Kumpulan kisah reflektif dan motivatif terntang kehidupan sebagai suara hati. “Bukan Senyuman Terakhir”, kumpulan cukstaw cerpen yang pantas menjadi bacaan akan pentingnya tetap tersenyum; karena senyumanmu bisa mengubah dunia. Senyum memang sederhana tapi dampaknya luar biasa … maka lakukanlah!
Karena menulis kreatif harus dimulai dan berakhir dari yang tertulis. Menulis kreatif sebagai kompetensi sekaligus menjadi goretan sejarah pena bagi siapapun. Ada pesan yang tertanam: ”Kekayaan sejati itu bernama senyuman. Karena setiap senyum yang kau tampakkan, adalah hadiah spesial bagi siapapun yang melihatnya.” Hidup tanpa senyuman, maka menyesal kemudian...
Seperti kisah "Surti Tak Seperti Dulu Lagi" dalam kumpulan cukstaw cerpen ini:
Surti tak seperti dulu lagi. Karena sibuk, dan mengejar dunia. Ia lupa, bahkan alpa. Meliuk-liuk di tengah terik ibu kota, membuai diri dalam gemerlap hedonisme, konsumerisme. Gaya hidup Surti berubah. Cinta dunia, menebar ambisi. Seperti kebanyakan orang di kota besar, penampilannya berkelas. Glamour bak selebriti. Sayang, Tapi sayang, Surti sudah lupa memeluk ibunya lagi. Tak pernah mendekap ibu yang melahirkannya lagi. Sejak ia berteman dengan gaya hidup. Surti tak seperti dulu lagi.
Surti merasa dunia sudah dalam genggamannya. Segalanya sudah ia peroleh. Hingga lupa mana ia berasal? Dan mau kemana dia?
Surti…. Surti, ulahnya seperti cerita yang ditakutkan banyak orang. Seperti kisah zaman dulu, anak yang durhaka pada orang tuanya. Gaya hidup makin membuat Surti amnesia. Lupa akan pesan khusus ibunya menjelang sakaratul maut.
“Surti anakku, ketahuliah Nak, hidup itu adalah anugerah. Sekaligus amanat.Sebelum engkau mengeluh tentang hidupmu, ingatlah orang lain yang tak seindah hidupmu. Sebelum engkau menyalahkan orang lain, ingatlah kesalahan yang pernah kamu lakukan pada orang lain. Ingat Nak, bersyukurlah dan berterima kasihlah pada Allah SWT.”
Surti tak seperti dulu lagi. Mata Surti memang bisa melihat dengan jelas. Namun hatinya tak mampu melihat dengan jujur. Tentang hidupnya, tentang ibunya.
Karena Surti masih punya mimpi yang belum terkejar. Ingin menjadi simbol wanita metropolis. Surti lupa. Hidup dan masa depan tidaklah ditentukan oleh kekayaan, kedudukan dan kebahagiaan yang dicapai. Tetapi ke arah mana dia membawa semua itu?
Sungguh, hingga kini Surti masih terbuai dunia. Sampai-sampai lupa, di mana kuburan ibunya berada. Surti hanya bisa tersenyum pilu, mengenang pesan terakhir ibunya….
Sungguh, "bukan senyuman terakhir" mengajarkan tentang selalu ada pelajaran dalam hidup. Selalu ada cerita yang bisa dikisahkan walau hanya dengan sedikit senyuman.
Ketahuilah, ada banyak hal yang bisa dicapai atau diubah hanya dengan senyuman.
Salam Menulis Kreatif, Salam Cukstaw Cerpen ! Bukan Senyuman Terakhir, ada di sini.....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H