Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Siapa Kamu Siapa Aku; Mendekatkan Bukan Menjauhkan

17 Januari 2016   07:58 Diperbarui: 17 Januari 2016   09:54 445
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Da aku mah apa atuh? Da kamu juga siapa atuh?
Itu hanya sepenggal kalimat bahasa Sunda yang lagi nge-hits. Da aku mah apa atuh, kalo diartiin kira-kira, “seseorang yang menganggap dirinya rendah tapi tetap ingin melakukan sesuatu yang berarti”. Sepintas, kalimat itu terkesan lucu, konyol. Dianggap gak serius. Dalam bahasa Indonesia jadi “siapalah aku ini”. Harusnya dilanjutkan dengan, “emang siapalah juga kamu”. Biar imbang aja …

Sapa sira sapa ingsun, siapa kamu siapa aku.
Kenapa harus merendahkan diri? Mengapa merendahkan diri? Apa karena kamu merasa lebih rendah dari orang lain itu. Atau aku merasa lebih tinggi dari kamu. Apa kamu merasa gak level dengan orang lain itu. Atau aku yang gak se-level dengan kamu. Lalu, kita bilang elo elo, gue gue. Wajar, kita makin individualis. Makin arogan dalam hidup.

Sapa sira sapa ingsun, siapa kamu siapa aku.
Emang kamu siapa? Emang aku juga siapa? Begitu dong kalo bertanya. Harus seimbang. Jangan maunya nanya orang lain doang, “siapa kamu?”. Tanya juga pada diri sendiri, “siapa aku?”. Sungguh, kamu atau aku bukan siapa-siapa. Gak mampu apa-apa. Gak tahu banyak tentang apapun. Kamu dan aku hanya sama-sama calon mayat. Sama-sama bakal mati. Lalu, apa yang harus disombongkan, apa pula yang harus ditinggikan?

Sapa sira sapa ingsun, siapa kamu siapa aku.
Banyak orang sudah salaf tafsir. Hidup itu disuruh bermasyarakat, disuruh bergaul. Saling membantu, saling mengerti, dan saling menghargai. Hidup itu bukan malah di kotak-kotakan. Hidup kok malah dibikin eksklusif untuk kelompok kita doang. Orang lain gak boleh ikutan. Hidup itu mendekatkan yang jauh, bukan menjauhkan yang sudah dekat. Hidup itu bukan kamu ya kamu, aku ya aku. Bukan begitu. Harusnya, kamu dan aku sama saja, setara. Sama-sama makhluk Allah, disuruh mengabdi dalam hidup jelang kematian.

Sapa sira sapa ingsun, siapa kamu siapa aku.
Kok malah ditafsir, elo elo gue gue. Elo itu gak level sama gue. Elo beda sama gue. Elo gak sepaham sama gue, maka elo bukan kelompok gue.
Sangat salah jika ditafsir, maaf ya siapa elo. Siapa gue sih. Kok elo sok kenal, sok dekat, sok akrab. Maaf ya, gue gak kenal elo jadi gak usah ngurusin hidup gue ….

Hidup di sekitar kita sekarang.
Sudah terlalu individualis. Terlalu egois. Terlalu mementingkan kehendak diri sendiri, gak peduli lagi pada orang lain. Mungkin sebentar lagi, makhluk yang bernama persatuan, persaudaraan, kebersamaan, kepedulian akan segera hilang. Kemanusiaan itu sebentar lagi MATI. Di sekitar kita, sudah gakk ada lagi rasa rendah hati, gak ada lagi berwelas asih, gak berbudi pekerti, gak berpengertian yang benar. Nilai-nilai luhur kita sebagai manusia sudah rontok. Sedihhh ….

Sungguh, gak ada yang salah menunjukkan kamu peduli pada orang lain. KARENA kita sama-sama manusia. Tapi yang salah adalah ketika kamu mengharapkan orang lain untuk melakukan hal yang sama dengan kamu. KARENA setiap manusia itu hakikatnya BERBEDA. Gak ada sidik jari manusia yang sama dari milyaran manusia di dunia ini.

Sapa sira sapa ingsun, siapa kamu siapa aku.
Dalam filsafat Jawa, kalimat itu dipakai untuk “mengoreksi diri”. Agar kita lebih baik ke dalam diri sendiri. Agar kita bisa menyadari “Sira-kamu-orang lain” sebagai alat berpikir untuk identifikasi diri, di mana dan di posisi apa kita. Agar kita bisa menyadari “Ingsun-aku-saya” sebagai alat untuk mengembalikan jiwa yang sejati pada diri kita. “Sira” dan “Ingsun”, Kamu dan Aku butuh PENYADARAN bukan PENGKOTAKAN.

Sapa sira sapa ingsun, siapa kamu siapa aku.
Sungguh, bukan untuk membanding-bandingkan kamu dengan aku. Bukan untuk membanding-bandingkan orang yang satu dengan yang lain. Karena Allah menciptakan manusia dengan segala perbedaannya; sifat karakter, pikiran, fisik tubuh dan perbedaan lainnya. Kita, kamu dan aku, sira dan ingsun harus bisa menerima dan menghormati segala perbedaan yang telah diciptakan Allah.

Gak usah selalu membanding-bandingkan orang. Kamu dan aku punya jalan dan cara tentang apa yang sebenarnya untuk diri kita masing-masing. Kamu dan aku sama-sama manusia untuk selalu menghormati hak-hak hidup manusia yang lainnya.

Sapa sira sapa ingsun, siapa kamu siapa aku.
Kalimat itu mengajak kita untuk introspeksi diri. Tentang “sira-orang lain” agar kita tahu diri. Tentang “ingsun-aku” agar kembali ke jati diri.
Agar kita gak usah memperbesar perbedaan, gak usah membeda-bedakan satu dengan yang lainnya. Kita justru harus bersama-sama dalam hal apapun, untuk apapun.
Agar kita bisa memahami keunikan kita masing-masing, mengenal betul identitas diri kita sendiri dan gak usah meniru orang lain agar gak sesat atau mengkultuskan orang lain.
Agar kita bersatu dalam perbedaan, bersaudara dalam anugerah hidup yang tersisa. Gak usah melihat pangkat, jabatan, dan harta agar kita bisa saling membangun peradaban yang lebih baikk bersama-sama.

Sapa sira sapa ingsun, siapa kamu siapa aku.
Ketahuilah, orang gak akan peduli berapa banyak yang kamu tahu tentang mereka. Hingga mereka tahu berapa banyak kamu peduli pada mereka.
Sapa sira sapa ingsun adalah momen kita untuk instrospeksi diri, mengukur diri sendiri. Siapa kamu siapa aku, sungguh untuk mendekatkan kita bukan menjauhkan kita.
Jadilah diri sendiri tanpa perlu mencemaskan orang lain …

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun