Hari ini 3 Juli 2015, Pak Hanif Dhakiri selaku Menteri Tenaga Kerja & Transmigrasi telah memberi penjelasan terhadap Petisi JHT (Jaminan Hari Tua) yang dibuat Sdr. Gilang Mahardika via Change.Org yang sudah mencapai 97.000 penandatangan. Terima kasih atas tanggapannya Pak, walau tidak menyentuh aspek etis dan sosialnya. Secara substansi, kalau JHT untuk perlindungan pekerja di saat tidak bekerja lagi atau saat pensiun, sudah pasti kita terima dan tidak ada komentar. Toh, para pekerja “disuruh” menjadi peserta JHT juga oleh negara. Jadi, tugas negara membuat program JHT yang tepat sasaran. Mungkin agak makan waktu jika kita “mundur” membahas soal ini.
Menukik pada persoalan utamanya adalah aturan main JHT berubah tanpa ada pemberitahuan. Dana JHT pekerja yang tadinya bisa dicairkan tanpa ada ketentuan 10 tahun kepesertaan dan sebelum 56 tahun TIBA-TIBA berubah menjadi HARUS 10 tahun menjadi peserta atau menunggu usia pensiun 56 tahun. Soalnya sangat sederhana, DANA JHT dari yang tadinya BOLEH DICAIRKAN menjadi TIDAK BOLEH. Cuma itu saja masalahnya.
Maka apa yang harusnya dilakukan? Ya sederhana saja, jika mau DIUBAH tolong disosialisasikan terlebih dulu. Jangan ujuk-ujuk, dari BOLEH jadi TIDAK BOLEH. Kondisi itu yang menyebabkan adanya petisi maupun komplain dari pekerja.
SEKALI LAGI, ini cuma soal SOSIALISASI. Pihak Pak Hanif selaku Menaker atau BPJS Ketenagakerjaan tidak pernah melakukan sosialisasi soal perubahan aturan main JHT. Itu saja. Kok berubah tapi tidak disosialisaikan. Bahkan sampai tulisan ini ditulis pun, Pak Hanif terus bicara di media soal akan adanya revisi terhadap PP No 46/2015 tentang Jaminan Hari Tua (JHT). Itupun setelah dipanggil Presiden.
Jujur saja, saya makin bingung. Bagaimana sebenarnya negara ini mengelola program kesejahteraan pekerja seperti JHT (Jaminan Hari Tua) atau JP (Jaminan pensin) yang baru saja diberlakukan per tanggal 1 Julli 2015 juga. Buat saya ada “keganjilan” tentang aturan main tersebut, misalnya saja:
1. PP No. 46/2015 tentang JHT itu sebenarnya kapan dibuat? Kok belum keluar di publlik sudah mau direvisi lagi? Petisi dan kritikan pekerja terjadi ‘kan karena aturan baru. Sementara aturan barunya belum terpublikasi, mungkin baru bocorannya, sudah diimplementasikan. Lalu karena menuai kritik, PP No. 46/2015 mau di REVISI? Bingung saya, PP-nya kayak apa sih?
2. Sebenarnya PP No. 46/2015 tentang JHT sudah di-ttd Pak Presiden belum sih? Kasih tahu saja jika sudah, cuma belum dipublikasi. Terus sekarang mau di REVISI lagi karena adanya kritikan atau petisi dari pekerja? Yang benar yang mana Pak?
3. Makin ganjil lagi, sebenarnya program JHT maupun JP yang baru, pekerja atau mungkin pelaku usaha SUDAH TIDAK PUNYA POSISI TAWAR untuk MENOLAK. Negara yang bilang ini MANDATORY, jadi pekerja atau pelaku usaha tugasnya tinggal SETOR. Tapi mengapa sosialisasi dan komunikasinya jelek ya? Kita pekerja hanya pengen diberi tahu saja, apa yang berubah dan bagaimana mekanismenya yang baru?
Sudahlah Pak, biar tidak meluas masalahnya. Untuk hal apapun terkait JHT dan JP juga, kita hanya butuh SOSIALISASI, penjelasan yang transparan agar publik bisa memahami dengan baik. Karena ini menyangkut puluhan juta pekerja di Indonesia. Jika belum ada SOSIALISASI, maka sebaiknya DITUNDA Aturan Baru-nya setahun agar bisa disosialisasikan. Atau DITINJAU ULANG dengan mencari “jalan tengah” yang lebih bisa diterima pekerja atau pelaku usaha.
Jadi Pak, sekali lagi, TOLONG SOSIALISASIKAN Aturan Main yang Baru tentang JHT dan JP (Jaminan Pensiun) dengan lebih baik, transparan, dan mudah dipahami. Itu saja tanggapan saya buat Pak Hanif Dhakiri. Terima kasih dan selamat bekerja Pak Menteri ….. Salam JHT & JP !!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H