Sesuatu yang baik, belum tentu benar. Sesuatu yang benar, belum tentu baik. Sesuatu yang bagus, belum tentu berharga. Sesuatu yang berharga, belum tentu bagus. Begitulah ruang yang tersedia dalam hidup manusia.
Segelas kopi hitam. Aku pun meneguknya. Semerbak aroma kopi yang indah. Menggairahkan. Lalu, seorang anak muda, menarik bangku dan duduk di sebelahku. Memesan segelas kopi hitam. Sambil menyalakan sebatang rokok. Dari sini, obrolan kecil dimulai.
“Maaf Pak, sepertinya baru pulang kerja?” tanya si anak muda kepadaku.
"Iya betul Dek. Lagi rehat sebelum pulang, menikmati kopi hitam dulu” kataku.
"Enak sekali ya Pak, pulang kerja masih bisa minum kopi” kata si anak muda lagi.
“Alhamdulillah, saya memang biasa ngopi. Apa aktivitasmu, Dek? Bekerja atau kuliah?” tanyaku ingin tahu.
“Ohhh…. Saya belum bekerja Pak. Sedang kuliah. Masih betah jadi mahasiswa” si anak muda berkata.
“Ohhh begitu. Memang, jadi mahasiswa enak sih ya. Masih belajar dan cukup bisa dibanggakan orang tua” selorohku sedikit saja.
“Ahhh, Bapak bisa saja. Justru sebenarnya, saya ingin segera lulus kuliah dan bekerja. Ingin mencari uang untuk hidup saya sendiri. Hanya zaman sekarang sulit mencari kerja, Pak.” Kata si anak muda prihatin.
“Lohh, kok gitu. Selesaikan saja kuliahmu, Dek. Baru pikirkan mencari kerja. Lagi pula, bekerja itu bukan melulu untuk mencari uang kan” kataku biasa saja.
"Iya sih Pak. Tapi menurut saya, buat apa saya kuliah jika tidak bisa mendapat kerja yang layak. Agar bisa mendapat uang. Faktanya kan orang bekerja untuk mencari uang. Ada pekerjaan maka ada uang. Kalo bisa, saya tidak ingin menjadi buruh yang sering demo karena menuntut hak untuk sejahtera” jawab si anak muda.
Cukup logis, pikirku. Tapi aku hanya tersenyum dalam hati. “Maklum anak muda. Analisisnya memang jago, seperti diajarkan di banyak tempat belajar” pikirku lagi.
Sedikit terpaksa, aku menjelaskan ke si anak muda.
"Benar sekali Dek. Saya setuju sekali. Kamu sekolah yang tinggi agar bisa bekerja. Dan memperoleh uang. Tapi ketahuilah, bekerja itutidak selalu soal uang. Bisa kok, kita bekerja untuk berbuat yang lebih tinggi dari sekadar mencari uang. Yaitu, bekerja untuk meluruskan kodrat kita sebagai manusia. Manusia yang selalu menghambakan diri kepada Tuhannya. Maka, carilah pekerjaan dan bekerjalah agar kita dapat melihat Tuhan"
“Bekerja untuk melihat Tuhan? Apa maksudnya Pak?” Tanya si anak muda penasaran.
“Ya, melihat Tuhan di tempat kerja. Untuk memenuhi eksistensi kita sebagai manusia, sebagai hamba Tuhan. Bekerja agar tidak lupa kodrat kita sebagai manusia. Punya uang, punya kedudukan, mungkin harta tetap saja hamba Tuhan. Jadi, kerja bukan soal di mana bekerjanya? Dan berapa gajinya? Tapi apa manfaatnya bekerja” jawabku.
“Ohhh, begitu ya Pak” kata si anak muda singkat.
"Ya begitulah. Seperti kopi hitam yang kita minum ini. Kopi ini diciptakan Tuhan untuk kita manusia. Ditanam dan dipetik untuk diambil manfaatnya.bTapi sayang, sekarang kopi sudah dilihat dari soal uang, dari sisi bisnis dan cita rasa saja. Akhirnya, kopi sudah menjadi sesuatu yang mahal. Bahkan kopi sudah bisa mengubah gaya hidup dan cita rasa manusia. Hingga kita lupa pada kodrat. Padahal, kopi itu diciptakan dan dimanfaatkan untuk manusia agar merasakan nikmat Tuhan. Bukan soal eksklusivitas semata” kataku menjelaskan.
Si anak muda lalu mengangguk. Baru mengerti arti bekerja.
“Terima kasih, pak. Saya baru menyadari. Berarti, apapun pekerjaan saya nanti. Saya harus bisa melihat Tuhan dari apapun yang sayakerjakan,dari yang saya dapatkan” kata si anak muda.
Aku mulai kagum pada si anak muda.
“Tepat sekali Dek. Kita bekerja bukan hanya untuk meraih penghasilan. Tapi juga untuk melihat keagungan Tuhan. Menyadari betapa kecilnya kita sebagai manusia. Sikap moral ini yang penting dalam bekerja. Agar tetap selaras antara hidup kita dengan Tuhan."
"Seperti segelas kopi hitam ini. Kita diajarkan untuk menikmati kebesaran Tuhan. Bukan untuk memilikinya” sahutku.
Menikmati kebesaran Tuhan. Artinya, kita tidak boleh menilai seseorang dari pakaian, gelar, jabatan, atau pangkatnya. Bahkan kita pun gak boleh menilai hanya dari kekayaan, ibadah, atau ganteng dan cantiknya seseorang. Tapi jauh lebih penting, nilailah dari PERILAKUNYA.
"Mengapa begitu Pak?" tanya anak muda lagi.
"Karena di zaman begini, menjadi umat yang cerdas itu sulit. Sebab, kebanyakan agama dipahami atas dasar keyakinan saja. Akibatnya, ibadahnya bagus, tetapi logikanya kacau balau. Sekarang banyak orang lebih bersikap reaktif-emosional daripada reaktif-rasional. Kita sudah tidak lagi menghargai perbedaan. Maka sekarang kita sulit mencapai keharmonian" jawabku sambil mengakhiri obrolan.
Oh ya satu lagi Dek, kataku lagi.
Janganlah kamu mencari Tuhan karena membutuhkan jawaban. Carilah Tuhan karena kamu tahu bahwa Dia-lah jawaban yang kamu butuhkan.
Aku pun menutup obrolan anak muda itu. Aku pamit karena hari semakin larut.
#BelajarDariOrangGoblok
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H