Di mata Surti, Jakarta itu kota metro-peletan. Sedang orang banyak bilang Jakarta kota metropolitan. Apa yang tidak ada di kota Jakrta? Dari gedung pencakar langit hingga gerobak tua ada di jalanan. Rumah mewah yang megah ada, Rumah kumuh di bantaran kali juga ada. Gaya hidup glamour, berbiaya mahal identik dengan kota metropolitan. Tapi masyarakat miskin, susah mencari sesuap nasi juga tak terbantahkan. Pikiran Surti agak kalut melihat potret metropolitan.
Sore itu, Surti sedang melipat pakaian yang akan disetrika. Langit Jakarta pun mendung, masih musim hujan. Surti agak galau memikirkan Jakarta, kota metropolitan tanah kelahirannya. “Jakarta sebagai kota metropolitan itu aneh!” pikir Surti. Macet 2-3 jam di jalan dianggap biasa. Orang berhenti di lampu merah malah diklakson, disuruh jalan. Jalan umum sering digali tapi tidak pernah diuruk lagi. Belum lagi, orang minta uang di jalan malah mencaci maki jika tidak dikasih. “Kalo tidak sabar, mungkin orang bisa gila tinggal di kota metropolitan” batin Surti merintih. Jakarta itu neraka, bagi orang orang yang terbiasa hidup tertib dan nyaman. Sungguh, Jakarta itu aneh. Kota besar namun tampak kecil bagi sebagian warganya.
Lamunan Surti tentang Jakarta terus berlanjut. Suara petir menggelegar pun tidak terdengar. Langit makin hitam. Tanda hujan akan turun. Surti terus merenung. Tak disangka, tiba-tiba Tono suaminya mengusik lamunan Surti.
“Mikirin apa Bu, kayaknya serius banget” tanya Tono.
“Iya Mas, lagi mikirin Jakarta. Katanya kota metropolitan. Tapi kok berantakan banget ya. Banyak yang kontroversial di kota ini. Segalanya ada. Orang benar jadi salah. Yang salah dibilang benar. Hatinya setan tampilannya malaikat. Emang aneh Jakarta ini!” ketus Surti protes.
“Ya sudah gak usah dipikirin Bu. Untuk apa? Jalani saja hidup kita sebaik-baiknya. Tak perlu pikirkan yang orang lain juga tidak pikirkan” nasehat Tono.
Surti menghela nafas sejenak. Agak dalam. Raut wajahnya memang tampak menyimpan kegundahan. “Aku hanya prihatin dengan kota metropolitan ini. Di kota yang penuh gemerlap ni, semua tersedia. Mau putih, hitam bahkan abu-abu, segalanya ada. Dari pagi hingga malam, kota ini tidak pernah mati. Tidak pernah tidur. Tapi sayang, kota metropolitan masih seperti rimba belantar yang dihuni jutaan binatang buas. Karena hukum rimba masih berlaku, yang kuat atau kaya yang berkuasa. Dan yang lemah atau miskin selalu teraniaya. Kota metropolitan seperti tak berpihak pada orang-orang yang tak beruntung. Menyedihkan” papar Surti.
Tono terpaksa memberi empati pada istrinya. Ia mengangguk. Berusaha memahami perasaan istrinya. “Itulah kota metropolitan Bu. apapun kondisinya, tetap punya daya tarik untuk mengundang orang datang ke sini” balas Tono.
“Itulah masalahnya Mas. Gemerlap kota ini memang membuat banyak orang terpesona, terpukau. Kota yang menjanjikan kesenangan. Bahkan kepuasan bagi siapa saja yang datang dan singgah di kota ini. Mereka datang dengan modal tekad, fisik, dan mau mengadu nasib.Sebenarnya sih sah-sah saja, hanya modal itu tidak akan membuat Jakarta lebih baik. Di Jakarta, kita butuh niat baik dan tindakan yang konkret untuk menjadikan kota metropolitan yang beradab Kota yang ramah bagi warganya.” Begitu seharusnya kata Surti,
Tono tercengang. Tak menyangka istrinya punya argumen yang Luar biasa. Ia makin tertarik. Sungguh, obrolan yang jarang terjadi, batin Tono.
“Jadi Bu, bagaimana seharusnya kita hidup di kota metropolitan seperti Jakarta?” tanya Tono lagi menguji Surti.
Surti masih penuh semangat. Ia berpikir dan mengumpulkan kata-kata untuk menjawab.
“Kota metropolitan itu kota besar yang menjadi satelit bagi kota-kota penyangganya. Ia menjadi pusat bisnis, pusat pemerintahan. Harus mampu menjadi kota yang ramah dan tertib. Sistem tata kotanya harus beradab. Semua yang datang dan tinggal di Jakarta, termasuk penduduk aslinya harus sadar dan respek terhadap realitas yang ada. Tidak egois, tidak individualis” tutur Surti kesal.
“Jakarta itu bukan kota seks bebas. Bukan juga kota narkoba. Kota ini tidak cukup untuk dihuni kaum hedonis. Daya tarik untuk meraih kesenangan sesaat bukanlah alasan untuk berada di Jakarta. Karena Jakarta, bukan kota Metro-peletan. Kota “peletan”, itu kota pekasih, kota yang mempesona sehingga kita lupa akan jati diri kita sebagai manusia biasa. Bukan kota “peletan” yang penuh kata-kata manis untuk memikat hati, membujuk orang yang tidak berdaya menjadi lebih tidak berdaya lagi” tegas Surti bersemangat.
Tono makin terkesima pada Surti. “Satu pertanyaanku Bu, mengapa kamu tetap berada di Jakarta?”
Surti tidak kehilangan akal. Ia tetap cinta Jakarta sebagai kota metropolitan.
“Karena aku ingin ikut menjadi warga yang ikut menjadikan Jakarta lebih beradab, lebih tertib, lebih ramah bagi semua wargnya. Aku memulia dari diriku sendiri saja. Jakarta harus jadi kota metropolitan sesungguhnya, bukan kota metro-peletan” ujar Surti. Sungguh idealis kamu Surti ....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H