Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Kandidat Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 49 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Puasanya Surti: Gelap Mata

4 Juli 2014   03:50 Diperbarui: 18 Juni 2016   16:56 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Waktu sahur belum lagi tiba. Surti baru saja usai sholat tahajud. Sementara Tono, masih terdiam di kursi tamu. Bersandar sambil menanti datangnya waktu sahur. Tak lama kemudian, Surti menghampirinya. Mereka terlibat obrolan ringan.

"Mas, kalo dipikir-pikir. Makin ke sini, suasana puasa sepertinya makin kendor ya. Banyak yang sudah mulai malas-malasan ibadah. Pantas saja, shaf sholat tarawih semalam di Masjid semakin maju ke depan. Alias makin berkurang jamaahnya" ujar Surti memulai obrolan.

"Ahh yang benar Bu. Justru seharusnya makin ke sini, ibadah kita semakin kuat dan khusyuk. Karena kan sudah memasuki putaran 10 hari kedua di bulan suci. Allah bukakan pintu maghfirah-nya buat kita. Asal kita mau memperbanyak ibadah" jawab Tono santai.

"Iya Mas. Tapi nyatanya gak seperti itu. Tukang ketoprak pagi-pagi sekarang malah sudah normal lagi. Kantin dan warung makanan sudah normal lagi. Hawanya saja di bulan puasa. Tapi perilaku dan suasana sudah seperti bukan bulan puasa. Bahkan di televisi, berita-berita politik pun malah makin hot" jelas Surti.

"Apalagi urusan calon gubernur DKI. Tiap hari yang dibahas soal itu melulu. Suasana Ramadhan sepertinya kalah dengan riuhnya para calon menebar simpati. Semua orang ikut-ikutan ngebahas soal calon pemimpin DKI. Padahal, pemilihannya baru tahun depan"” tambah Surti lagi.

 “Biarkan saja Bu. Politik memang begitu. Selalu panas dan menderu setiap hari. Si calon pemimpin lagi menebar pesona. Si yang mau milih lagi ngejago-jagoin calonnya. Semua orang lagi kepincut sama politik, sama calon unggulannya. Kita doakan saja agar mereka tidak gelap mata dalam memilih nanti” ujar Tono.

“Lho, kenapa jadi gelap mata dalam memilih, Mas?” tanya Surti singkat.


“Iya Bu. Semoga saja mereka memilih tidak dalam keadaan gelap mata. Seperti kucing dalam karung. Menyangka calonnya hebat, gak tahunya keropos. Diagung-agungkan gak tahunya membahayakan. Dikira bagus, gak taunya jelek. Itulah orang yang gelap mata” jawab Tono.

 

Surti masih belum paham. Kenapa harus gelap mata. Bukankah urusan politik hanya urusan kepentingan semata. Soal berebut kekuasaan. Nafsu untuk berkuasa. 

“Jadi maksud Mas gimana? Apa si pemilih yang gelap mata atau calonnya yang gelap mata” tanya Surti lagi.

 

“Iya dua-duanya Bu. Gelap mata bisa si yang memilih, bisa yang dipilih. Intinya,  mereka hanya sedang memperturutkan hawa nafsu, membela ego sendiri. Sungguh itu semua, seringkali membuat manusia lupa. Syahwat yang membara, hati menggebu-gebu untuk menguasai dunia. Hasrat ingin menguasai. Ingin memiliki semua yang ada di dunia" jawab Tono santai.

"Mereka kadang lupa, tidak ada pemimpin yang sempurna. Karena kesempurnaan hanya milik Allah. Makanya, kita harus memilih dengan hati yang lapang. Mata yang terbuka. Mampu menimbang baik buruknya untuk masa depan. Kalo proses memilih itu sudah dilalui, seharusnya tiap pilhan kita pasti baik. Tanpa perlu ada caci maki. Tanpa perlu menghujat. Bahkan fitnah. Itulah PEMILIH yang tidak GELAP MATA” papar Tono.

 

“Tapi nyatanya, pemilih kita sepertinyasangat fanatis pada calon-nya masing-masing ya” sergah Surti.

 

“Itulah faktanya Bu. Fanatis, militan tidak masalah. Asalkan masih dibarengi dengan hati yang bersih. Pikiran yang jernih. Mata hati yang objektif. Bukannya malah membabi buta dalam membela si calon. Kita sering lupa bahwa demokrasi dan politik itu berisfat absurd?” tukas Tono.

 

“Lho kok absurd Mas?” tanya Surti penasaran.

 

“Iya Bu. Karena demokrasi dan politik itu bertumpu pada kepentingan semata. Tidak jelas. Hari ini bisa jadi lawan, tapi esok bisa jadi kawan. Kita harus hati-hati dalam memilih. Tak perlu merendahkan yang lain. Gak usah gelap mata. Agar kita tidak tertipu dan menyesal kemudian” ujar Tono lagi.

 

“Jadi, kalau gitu apa yang harus kita lakukan Mas? Agar tidak gelap mata” tanya Surti.

 

“Sederhana saja Bu. Seperti kita memilih pasangan hidup. Harus hati-hati. Jangan sampai menjerumuskan kita ke dalam jurang kehancuran. Gak usah terlalu percaya diri. Biasa saja. Apalagi di bulan puasa ini. Mintalah bantuan kepada Allah SWT dalam memilih. Bukankah pengetahuan manusia itu terbatas. Dan artinya, setiap pilihan kita bisa salah. Tugas kita memilih yang terbaik, dan selebihnya serahkan kepada Allah SWT untuk menentukannya” ujar Tono penuh semangat.

 

Surti termenung sejenak. Berpikir tentang cara memilih agar tidak gelap mata. Tentang hidup yang tidak boleh gelap mata.

“Aku setuju Mas. Memang tugas kita hanya memilih dari yang ada. Selebihnya biarlah Allah SWT yang bekerja. Agar kita tidak mengelus dada saat kecewa. Atau tidak jumawa saat menang. Itu artinya kita harus memakai kaca mata hati dalam memilih. Karena bangsa atau masyarakat yang baik tidak mungkin bisa dibangun tanpa melibatkan kaca mata kalbu, tanpa peran Allah SWT. Bukan sekadar akal dan nafsu belaka” terang Surti.

 

Tono mengangguk pelan. Setuju dengan pendapa istrinya. Sambil berdiri ia berkata, “Iya Bu. Seperti kata banyak ahli hikmah. Banyak orang berebut tempat paling depan untuk urusan dunia. Tapi berebut tempat paling belakang urusan akhirat. Nafsu mengejar kekuasaan, nafsu menggenggam dunia. Karena mata hati kita tertutup mata dunia ...

Kini Surti mulai menyadari. Bukan hanya urusan politik, urusan memilih calon gubernur. Hidup pun tidak boleh gelap mata. Nafsu mengejar kekuasaan tapi lupa diri. Nafsu untuk dipuja banyak orang tapi lupa hakikat hidup di dunia hanya sementara.

Surti hendak mengakhiri obrolan dengan suaminya. menyiakan makanan sahur hari ini. Sambil dalam hatinya ia bergumam, "Sungguh, apapun realitas yang ada dihadapan kita. Kita perlu belajar untuk berpikir besar sambil tetap mau berlatih untuk bahagia dengan hal-hal kecil" batinnya.

"Karena itu, aku harus melakukan yang memang baik untuk dilakukan, bukan karena apa yang akan aku dapatkan. termasuk urusan politik, urusan kekuasaan, dan urusan hidup sekalipun" pikir Surti.

Tidak terasa, waktu sahur tiba. Surti bergegas untuk makan sahur. Agar puasanya diterima Allah SWT. Tetap istiqomah dan bersyukur. Tanpa harus gelap mata untuk soal apapun.... #PuasanyaSurti

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun