Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puasanya Surti: Man Rabbuka?

26 Juli 2014   21:57 Diperbarui: 3 Juli 2016   22:03 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam ini, menetes air mata Surti. Seusai sholat tarawih tadi. Sebab bulan puasa sebentar lagi berakhir. Ramadhan, akan pergi. Getar syahrul ibadah mulai menghiilang. Seiring sibuknya suasana lebaran.  Surti tertegun. Belum tuntas rasanya menghidupkan malam-malan di bulan puasa. Surti membatin. 

Kesedihan Surti belum berakhir. Tangis Surti makin menjadi. Ketika ia membaca BBM dari temannya pagi ini. 

PING !!!

Kamu bohong...!!!                                                          

Kamu bilang aku bulan mulia, tapi kamu perlakukan aku biasa saja.

Kamu bilang aku bulan Al-qur'an, tapi kamu gak ada waktu tadarusan.

Kamu bilang aku bulan ibadah, sekedar tarawih saja gak dikerjakan.

Capek & lelah ngurusin lebaran?

Kamu bilang aku bulan ampunan, tapi air mata taubatmu tak kunjung datang. Kamu bilang aku lebih baik dari 1000 bulan, tapi 10 malam terakhirku kamu lewatkan begitu saja.

Kamu bilang aku bulan berkah, sekedar berbagi kepada sesama yang butuh saja enggan.

Sahabatku, sebentar lagi aku akan pergi, meninggalkan kamu untuk waktu yang lama, 11 bulan lagi. Dan aku pasti kembali, tapi aku gak tahu; apa kamu masih bisa menemuiku lagi atau tidak di tahun depan.

Kecewa, menyesal. Menangislah sekarang mumpung kamu masih dalam pelukanku Jika ini perjumpaan terakhir kita, semoga kelak menjadi saksi cintamu padaku.

Salam dari sahabat sejatimu - RAMADHAN

 

Teks BBM itu memukul batin dan pikiran Surti. Ia merenung. Mulutnya terlihat hanya istighfar. Air matanya makin tak terbendung. Jantung Surti berdegup. Batinnya terguncang. Ia merasa belum optimal ibadah di bulan puasa. Belum banyak introspeksi diri, belum otimal ibadah. Ramadhan tahun ini seperti biasa saja, batin Surti. Hingga ia takut tak bertemu lagi dengan Ramadhan tahun depan. Sungguh, tidak ada yang tahu? Wallahu a’lam ...

 

Tono, suami mendengar sesunggukan tangis istrinya. Di malam yang hening. Masih terdengar suara tadarus di Musholla dekat rumah. Entah apa gerangan yang menyebabkan Surti menangis? Tono berjalan pela, menghampiri istrinya.

“Maaf Bu. Kenapa kamu menangis. Apa yang sedang kamu tangisi, Bu?” tanya Tono pelan.

“Ya Mas, aku merasa belum optimal ibadah. Tapi sebentar lagi Ramadhan pergi. Ditambah lagi, aku dapat BBM yang isinya: “Kamu bohong, katanya Ramadhan bulan mulia tapi kamu perlakukan biasa saja. Sahabatku, sebentar lagi aku pergi, dan pasti kembali 11 bulan lagi, hanya belum tahu apakah kita bisa bertemu lagi. Menangislah, mumpung kita masih dalam pelukannya. Jika ini perjumpaan kita yang terakhir. Kata-kata itu yang bikin aku menangis Mas” kata Surti sambil tersedu.

 

Tono ikut tertegun. Berempati pada perasaan istrinya. Sebegitu muliakah bulan puasa baginya, pikir Tono.

“Lalu, apa yang hendak kamu lakukan, Bu?” tanya Tono.

“Entahlah Mas. Aku sudah berusaha maksimal untuk mengisi Ramadhan tahun ini dengan ibadah. Tapi selalu merasa kurang. Aku takut gak bertemu lagi di tahun depan. Belum tentu Ramadhan tahun depan, aku masih ada” isak Surti sambil menangis.

Tono mulai memeluk istrinya perlahan. Menenangkan, sambil berusaha memahami apa yang dirasakan Surti. 

“Bu, Itulah hikmah yang bisa kita ambil dari ibadah puasa. Tak hanya kamu, saya juga belum tahu dapat bertemu lagi atau tidak dengan puasa tahun depan. Karena tidak ada yang tahu ajal setipa manusia. Kita tidak tahu batas umur kita. Karena itu semua rahasia Allah. Sungguh, hanya Allah yang tahu kematian manusia. Maka, kita harus tetap eling, tetap hari-hati untuk tetap berada di jalan-Nya. Bagaimana akhir hidup kita di dunia ini, kitalah yang memilihnya” jawab Tono bernasehat.

Ketahuilah Bu, hanya ada 2 cara kematian manusia. Khusnul khotimah, cara yang baik atau Su’ul khotimah, cara yang buruk. Seandainya kita tahu, maka kita bisa memilih kematian kita?” lanjut Tono lagi.

Surti mulai menatap suaminya. Masih ada sisa air matanya. “Tapi, bukankah kematian itu di tangan Allah, Mas. Bagaimana kita bisa memilihnya?” tanya Surti ingin tahu.

“Bu, di alam kubur, malaikat Munkar-Nakir bertanya Man Rabbuka? Sungguh, pertanyaan itu hanya bisa dijawab oleh orang-orang yang tidak lengah saat berada di dunia. Sebab kita tidak tahu, apakah malaikat pencabut nyawa Izrail datang di saat kita lengah atau tidak? Satu-satunya cara mati dalam khusnul khotimah adalah kita harus selalu berada di jalan Allah SWT, dalam iman yang kokoh. Maka, janganlah kita berpaling dari Allah” terang Tono.

“Lalu, bagaimana kita bisa mati dalam khusnul khotimah?” tanya Surti lagi.

Tono sedikit berpikir. Untuk menjelaskan kepada istrinya. Tentang kematian, tentang batas umur manusia.

“Bu, kamu tahu kalimat "Man Rabbuka? Siapa Tuhanmu?" Maka jawabnya, Allahu Rabbi, Allah Tuhanku. Sungguh, hanya Allah yang menghidupkan dan mematikan. Sehebat apapun manusia di muka dunia, ia tidak akan dapat menolak dari kematian. Tidak ada yang bisa lari dari kematian. Kita hanya bisa bersiap diri saat kematian itu tiba. Maka, rancanglah kematian kita dalam keadaan khusnul khotimah, mati dengan cara yang baik. Persiapkan “ending” kita di dunia ini” jawab Tono.

Surti makin tertegun. Tertunduk lesu. Lalu berkata: “Bisakah aku menjawab pertanyaan itu, Mas. Man Rabbuka?” tanya Surti gusar.

“Hanya kamu yang bisa menjawabnya, Bu. Man Rabbuka? Pertanyaan yang jawabnya tak cukup di lisan. Tapi harus dari keyakinan, dari iman. Dan dibuktikan oleh perbuatan. Man Rabbuka, tak bisa dijawab dari hafalan. Tapi amalan. Dan hanya Allah yang mampu menuntun kita” terang Tono sambil melanjutkkan, "Man Rabbuka? Kita hanya terbaring di lubang yang gelap, saat pertanyaan itu diajukan. Sungguh, selagi masih ada waktu kita harus persiapkan “ending” hidup kita. Ajal pasti menjemput manusia, alam kubur telah menanti. Dan tidak satupun dari kita yang bisa menduga kapan kematian tiiba. Saat pergi ke sana, tidak ada satupun manusia yang bisa kembali lagi ke dunia” tambahnya.

Surti tak mampu lagi menahan tangisnya. Matanya kembali berbinar. Tetesan air matanya, kini menjadi saksi penyesalannya. Di penghujung bulan Ramadhan. Bulan baik yang sebentar lagi pergi.

"Man Rabbuka?" batin Surti ketakutan. Jika maut tiba. Lalu, ia berdoa dalam hatinya:

"Ya, Allah. Kalau bukan karena hidayah-Mu, sungguh akan tertanam dalam batinku, terucap dari lisanku, dan terwujud lewat perbuatanku segala yang bertentangan dengan agama-Mu. Boleh jadi, aku tak mengenal agama-Mu seperti diperkenalkan pembawanya. Boleh jadi, aku tak mengenal aturan yang ada di dalamnya. Bahkan boleh jadi, aku telah terjatuh ke dalam perbuatan yang telah menjauhkan dari ajarannya. Maka, ampuni aku, Ya Allah” doa Surti.

Surti pun terkulai di atas sajadahnya. Belum lagi habis ia berpikir tentang akan perginya Ramadhan, akan datangnya kematian bagi setiap insan manusia. Termasuk ajal dirinya sendiri. 

Sambil menutup lelahnya, Surti terus istigfar. Mengingat kata-kata "Man Rabbuka", cukup jadikan ajal sebagai penjaga hidup kita di dunia yang fana ini .... #PuasanyaSurti

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun