Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Kandidat Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 49 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Memahami Relasi BPJS Ketenagakerjaan & DPLK

14 September 2014   06:05 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:45 1767
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="561" caption="Kartu BPJS Ketenagakerjaan (www.iberita.com)"][/caption]

Bagaimana memahami relasi keberadaan BPJS Ketenagakerjaan dan Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) sebagai bagian dari program employee benefits di Indonesia ? Mari kita menyamakan persepsi terlebih dulu, kita harus sepakat bahwa setiap pekerja/karyawan baik di sektor formal maupun informal di bumi Indonesia berhak atas hidup dan penghidupan layak di hari tua, di masa pensiun, di saat mereka tidak bekerja lagi. Di Indonesia, setidaknya ada sekitar 120 jutaan orang pekerja/karyawan. Namun sayangnya, tidak lebih dari 5% dari mereka yang telah memiliki program pensiun atau hari tua untuk mempertahankan hidup di saat tidak bekerja lagi. Angkatan kerja di Indonesia saat ini terdiri atas 30% pekerja formal dan 70% pekerja informal. Sekali lagi kita sepakat, apapun keadaannya, seluruh pekerja/karyawan di Indonesia berhak mendapatkan pekerjaan yang baik, hak-hak pekerja yang terlindungi, dan jaminan hidup di hari tua/masa pensiun yang memadai.

[caption id="attachment_359053" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber: News Harian Fajar Makassar, 6 Sept 2014"]

14106242691532266496
14106242691532266496
[/caption] Karena itu, Program Kesejahteraan Karyawan (Employee Benefits) menjadi penting disiapkan oleh pemberi kerja/perusahaan atau pelaku usaha. Atau pekerja/karyawan yang mengusulkan perlunya program kesejahteraan karyawan kepada perusahaan/pemberi kerja. Baik program pensiun/hari tua, program pesangon, atau asuransi jiwa & kesehatan kumpulan (GLH).

Nah, lalu bagaimana dengan adanya BPJS Ketenagakerjaan yang baru digulirkan pemerintah dan DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan) yang telah ada sebelumnya? Intinya, BPJS Ketenagakerjaan dan DPLK, keduanya memiliki orientasi untuk menyiapkan kesejahteraan pekerja yang lebih baik. Keduanya bersifat komplementer atau saling melengkapi sebagai bagian dari fasilitas program kesejahteraan karyawan.

BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Ketenagakerjaanmerupakan program publik yang memberikan perlindungan bagi tenaga kerja untuk mengatasi risiko sosial ekonomi tertentu dan penyelenggaraannya menggunakan mekanisme jaminan sosial nasional. BPJS Ketenagakerjaan adalah transformasi dari Jamsostek sebagai amanat dari UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS dan akan mulai beroperasi pada 1 Juli 2015. BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial sebagai salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak.  BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program: a) Jaminan Hari Tua (JHT), b) Jaminan Pensiun (JP), c) Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), dan d) Jaminan Kematian (JK). Lain halnya dengan DPLK. Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) merupakan Dana Pensiun yang dibentuk oleh bank atau perusahaan asuransi jiwa untuk menyelenggarakan Program Pensiun Iuran Pasti (PPIP) bagi perorangan, baik karyawan maupun pekerja mandiri. Suatu perusahaan dapat mengikutsertakan karyawannya ke dalam program DPLK. Kekayaan DPLK pada dasarnya terpisah dari perusahaan penyelenggara DPLK, baik bank atau asuransi jiwa. DPLK adalah amanat UU UU No. 11/1992 tentang Dana Pensiun. Lalu, apakah BPJS Ketenagakerjaan dan DPLK sepertinya tumpang tindih? Tentu saja tidak. Karena BPJS Ketenagakerjaan dan DPLK bersifat komplementer atau saling melengkapi sebagai bagian dari fasilitas program kesejahteraan karyawan. BPJS Ketenagakerjaan bersifat wajib, sedangkan DPLK bersifat sukarela. Untuk lebih jelasnya, perhatikan diagram di bawah ini: [caption id="attachment_359050" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber: DayaMandiri Dharmakonsolindo, Actuarial Consulting Services"]

1410624091946334473
1410624091946334473
[/caption] Mengacu pada diagram di atas dan untuk memahami relasi BPJS Ketenagakerjaan dan DPLK dapat dinyatakan sebagai berikut: 1.Bagi Perusahaan/Pemberi Kerja Sektor Swasta, aturan hukum program employee benefits terdiri dari Program Wajib dan Program Sukarela. 2.Program Wajib terdiri dari Jamsostek (UU No. 3 Tahun 1992) yang mengatur Jaminan Hari Tua (JHT = 5,7%), yang kemudian bertransformasi menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan (UU No. 40 Tahun 2004) dengan tambahan menyelenggarakan Jaminan Pensiun (JP = hingga kini belum ditentukan besarannya), Jaminan Kematian (JK), dan Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK). Perlu diketahui, Jaminan Kesehatan (JKes) sesuai UU No. 40 Tahun 2014, pengelolaannya telah berpindah dari Jamsostek ke BPJS Kesehatan.

3.Program Wajib lainnya adalah UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dimana dinyatakan bahwa pemberi kerja harus memberikan manfaat pesangon yang sesuai terhadap karyawannya pada saat pemberhentian kerja, pensiun dan kematian. Dalam konteks ini, penyediaan program pesangon suatu perusahaan/pemberi kerja dapat diberikan kepada penyelenggara DPLK. Program pesangon ini akan dikelola atas nama perusahaan (pooled fund). Kewajiban pesangon pasti akan muncul, cepat atau lambat, karena itu pencadangan dana pesangon karyawan mutlak diperlukan, di samping menjadi bagian kewajiban imbalan pasca kerja.

4.Program Sukarela employee benefits terdiri dari 1) Dana Pensiun (UU No. 11 Tahun 1992) dan 2) Asuransi (UU No. 2 Tahun 1992). Program sukarela ini tetap diperlukan untuk memberikan manfaat maksimum (on top) bagi pekerja/karyawan. Oleh karena itu, BPJS Ketenagakerjaan melalui program Jaminan Hari Tua (JHT) dan Program Pensiun (JP) akan mengimplementasikan program jaminan sosial dengan prinsip memberikan perlindungan dasar dan layak, sedangkan DPLK lebih mengedepankan manfaat kesejahteraan karyawan yang maksimum (on top). Apalagi saat ini, Jaminan Pensiun (JP) yang akan dikelola BPJS Ketenagakerjaan mulai 1 Juli 2015 belum diikuti dengan “kepastian” Peraturan Pemerintah (PP) tentang besaran iuran dan mekanisme pengelolaannya. Karena masih dalam pembahasan yang masih terus berlanjut. Selain itu, seluruh pemangku kepentingan (stakeholeders) seperti Pemerintah melalui OJK, BPJS Ketenagakerjaan, APINDO, Asosiasi DPLK, Asosiasi DPPK, dan Serikat Pekerja terus melakukan koordinasi dan harmonisasi terhadap berbagai peraturan yang ada agar tidak saling tumpang tindih, tidak merugikan iklim industri yang telah berkembang di Indonesia, dan yang terpenting tidak mengurangi manfaat maksimum pekerja/karyawan terkait dengan hari tua dan masa pensiunnya. Orientasinya harus win-win solution. Bukankah banyaknya aturan hukum yang mengatur kesejahteraan pekerja (employee benefits) pada akhirnya akan memberatkan pelaku usaha/pemberi kerja ? Jawabnya, tentu tergantung dari sisi mana kita melihatnya. Jika ditinjau dari biaya (cost) yang harus dianggung oleh pelaku usaha/pemberi kerja, bisa jadi berat atau juga tidak. Karena itu diperlukan harmonisasi peraturan yang tetap berpegang pada terjaminnya iklim usaha dan industri di Indonesia yang kuat dan terus bertumbuh. Bukan malah sebaliknya, menjadi “bumerang” ketakutan pemberi kerja dalam mengembangkan bisnis di Indonesia akibat besarnya beban tanggungan dalam program employee benefits. Namun, apabila ditinjau dari aspek kesejahteraan hidup layak pada hari tua/masa pensiun yang diukur melalui besaran Tingkat Penghasilan Pensiun (TPP) atau lebih dikenal dengan Replacement Ratio, yaitu perbandingan penghasilan seseorang setelah pensiun pada usia tertentu terhadap penghasilan terakhirnya sebelum pensiun, maka setiap orang Indonesia membutuhkan TPP sebesar 70-80% dari penghasilan terakhirnya. Artinya, apabila seseorang memiliki penghasilan terakhir sebelum pensiun sebesar Rp. 10 juta/per bulan, maka di masa pensiun tingkat penghasilan yang dibutuhkan adalah sebesar Rp. 7-8 juta per bulan. Lalu, dari mana dana bulanan tersebut diperoleh dari seorang pensiunan? Tentu dari program employee benefits yang diiikuti atau diberikan pemberi kerja/pelaku usaha kepada setiap pekerja/karyawan semasa bekerja, saat sebelum pensiun. Untuk lebih jelasnya, mari kita simak porsi Replacement Ratio atau Tingkat Penghasilan Pensiun (TPP) pada diagram di bawah ini:

[caption id="attachment_359051" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber: DayaMandiri Dharmakonsolindo, Actuarial Consulting Services"]

14106241652058707093
14106241652058707093
[/caption]

Berdasarkan diagram di atas, program JHT yang 5,7% + program pesangon dari pemberi kerja (bila tersedia) baru memenuhi kebutuhan TPP sebesar 24,82%. Hal ini berarti masih ada kesenjangan (gap) sebesar 45,18%--55,18%. Dari mana gap tersebut dapat dipenuhi ? Jawabnya, tentu dari program DPLK yang diasumsikan dapat mengurangi gap TPP sebesar 20,3%--30,3% dan sisanya dari program Jaminan Pensiun (JP) dari BPJS Ketenagakerjaan yang besaran iuran-nya belum ditentukan. Dengan demikian, untuk memastikan kesinambungan penghasilan seseorang di masa pensiun/TPP maka program employee benefits, baik BPJS Ketenagakerjaan maupun DPLK tetap diperlukan.

Jadi intinya, pelaku usaha/pemberi kerja atau perusahaan yang mempekerjakan karyawan tak perlu ragu untuk MEMULAI dan mengikutsertakan pekerja/karyawannya ke dalam Program Employee Benefits, baik melalui BPJS Ketenagakerjaan maupun DPLK, baik yang bersifat Wajib atau Sukarela. Karena masih banyak pemberi kerja/perusahaan yang belum memiliki program employee benefits. Faktanya, HANYA 5% dari 120 juta pekerja/karyawan di Indonesia yang sudah memiliki program pensiun atau hari tua. Kesadaran inilah yang harus dibangun oleh semua piha, baik pemberi kerja/perusahaan, pekerja/karyawan, penyelenggara DPLK, maupun Pemerintah.

Bukankah pekerja/karyawan merupakan aset penting perusahaan/pemberi kerja ?

Semangat untuk melindungi hak-hak pekerja/karyawan yang layak dan memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada manusia yang telah mengabdikan diri dalam pekerjaan, serta menjamin kelangsungan hidup yang bermartabat di masa pensiun, itulah substansi moral yang patut dikedepankan. Jangan tunda lagi untuk menyediakan program employee benefits. Mulailah dari sekarang .... Jika tidak kapan lagi ?

Karena BPJS Ketenagakerjaan memberikan jaminan dengan prinsip perlindungan dasar dan layak, sedangkan DPLK mengutamakan manfaat secara maksimum, bersifat on top. Maka, DPLK maupun BPJS Ketenagakerjaan sama pentingnya dan sama-sama dibutuhkan kita semua. A LEADER for Employee Benefits !!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun