SELAMAT HARI IBU. Mudah untuk mengucapkannya. Tapi di saat yang sama. Sulit bagi kita untuk berucap TERIMA KASIH IBU (sambil mencium tangannya, penuh ketulusan). Mengapa? Sementara, untuk semangkuk mie yang kita makan dan dibayari orang lain, serta merta kita bilang terima kasih. Ya, hanya semangkuk mie, kita bisa begitu terharu atas kebaikan orang lain. Lagi-lagi sayang, untuk kebaikan Ibu yang melahirkan kita, mungkin tidak sering ucapan baik itu berkumandang.
Jujur, memang tidak adil. Sikap anak kepada ibunya. Kita mengaku hormat dan cinta pada ibu dalam kesedikitan waktu. Hanya sekedarnya saja. Atau kita ingin dimaklumi atas kurangnya perhatian kita kepada Ibu. Apalagi dengan dalih kesibukan bekerja. Jika sempat saja ...
Kasih Ibu bukan semangkuk mie. Berucap terima kasih berulang-ulang kepada orang lain atas kebaikan kecil yang mereka berikan kepada kita. Lalu, dimana kasih sayang ibu kita hari ini? Di mana? Dan sudahkah kita punya komitmen untuk memperbaikinya? Mumpung ada waktu... Entahlah.
Hari ini, di Hari Ibu. Katakan, kasih Ibu bukan semangkuk mie. Mari kita persoalkan sikap peduli anak kepada ibunya. Soal keberanian anak meminta maaf. Soal ketulusan berterima kasih. Kepada seorang Ibu, sosok yang telah mendidik dan melahirkan kita. Ahhh, sungguh siapalah kita sebenarnya?
Katanya, sehebat dan sesukses apapun si anak. Tak akan mampu membalas jasa dan pengorbanan ibu. Tidak akan terbalas.
Lalu, mengapa hari ini atau kemarin. Saat kita berbeda pendapat dengan ibu. Atau bertengkar dengan ibu karena soal sepele. Dengan mudah kita memusuhinya. Apa karena itu kita lupa siapa yang melahirkan kita. Siapa yang mengganti popok dan menyuapi kita sewaktu kecil. Siapa yang berjuang, mengompres kepala kita dengan air dingin. Ahhh, sudahlah itu semua hanya masa lalu, masa kecil.
[caption id="attachment_385076" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber: Pribadi"][/caption]
Hari ini, bahkan esok. Masihkah seorang ibu yang berharap kedatangan anaknya? Ibu yang kangen suara anaknya berucap “Assalamualaikum, Gimana Bu? Sehat?”. Lalu, berapa lama lagi, Ibu kita harus menyeka air mata yang batinnya menanti kunjungan anak-anaknya. Berapa lama lagi, Ibu hanya bisa terdiam mengintip dari celah jendela di dekat dapur. Sambil batinnya berkata “Di mana anakku yang dulu kuperjuangkan”. Ahhh, sudahlah itu semua telah usang di makan waktu.
Sungguh, jangan biarkan, hati Ibu sakit. Jangan biarkan kasih ibu tidak lebih baik dari semangkuk mie pemberian orang lain. Ingatlah, di balik kesuksesan seorang anak, pasti ada peran besar ibunya. Kekuatan doa dan restu ibu. Pembuka keberkahan hidup anaknya.
Dulu ketika kita baru dilahirkan, usia seminggu, ibu yang membawa kita pulang dari rumah sakit. Lalu, kita menangis. Menjerit-jerit di tengah malam karena popok basah. Ibu yang terpaksa bangun walau tubuhnya masih sangat letih. Ibu pula yang berani berjalan di lantai dingin tanpa alas kaki. Mengganti popok, lalu menyusui kita. Itulah kasih ibu. Bukan soal tanggung jawab ibu di tengah malam. Tapi, Ibu RELA melakukan semua demi anaknya. Walau mungkin, ia tidak menyukainya.
Sungguh, kasih Ibu, bukan semangkuk mie.