Bagaimana pun, politik itu policy, kebijakan. Untuk mencapai welfare state. Tentu selama masih ada landasannya, maka praktek itulah yang akan dilakukan. Dalam praktek berpolitik, policy itu selalu bermuara pada kepentingan dan aspirasi publik. Indikatornya bisa dilihat dari sisi kuantitas, suara mayoritas jadi urgent. Jika ditambahkan secara kualitas, ternyata masih debatable. Maka itu, jika ada suara miring, atau berbeda, jika itu cuma dilakukan oleh segelintir orang, maka itu harus diabaikan. Tak perlu dihiraukan.Â
Itulah yang dilakukan PS. Bahwa hari ini jika ada suara lantang pada PS karena terindikasi akan bergabung dengan JW, ikut dalam pemerintahan, seperti yang dilakukan kelompok RG, PA 212, FPI, GNPF Ulama, atau HTI, dan sejumlah elite ASN dan para Dosen di PTN / PTS, PS tetap pada sikapnya. Karena bagi kelompoknya arus besar massanya tak akan sebesar yang mau menerima pragmatisme politik itu.Â
Politik RekonsiliatifÂ
Pragmatisme politik ini memang menjadi pilihan terbaik hari ini, untuk negeri ini. Baik oleh JW sebagai presiden terpilih, yang akan memimpin negeri ini pada periode 2019 - 2024 mendatang. Demikian pula bagi PS pribadi. Bagi anak begawan ekonomi Soemitrodjojohadikusomo ini, era 2019 - 2024 adalah era diterminant nasib bangsa ini, sama seperti tatapan JW.Â
Ini era menyongsong Indonesia Satu Abad 2045 yang akan datang. Â Selain itu, karena faktor usia, inilah moment terbaik bagi PS mengabdikan dirinya untuk negeri ini.Â
Menyongsong Indonesia Satu Abad 2045, negeri ini perlu penguatan dalam semua line kehidupan. Dengan pertumbuhan ekonomi makro kita yang masih di kisaran 5%, atau di bawah 6%, tentu ini harus dipacu dan didorong sama-sama. Prinsip kegotong-royongan yang dimiliki PS terlihat masih kuat. Ia mengalahkan gengsi-nya dan kelompoknya, demi Indonesia yang lebih baik. JW harus dibantu.Â
Bagi JW, membangun negeri ini tak cukup hanya disupport elemen partai politik pengusungnya. Hatta dengan PDI Perjuangan yang menjadi pilotnya. Pengalaman 5 tahun JW memerintah, ia masih terseok-seok oleh sikap kritis terhadap sekian ide dan program pembangunannya. Untuk memperkuat barisan itulah, perlu kehadiran figur PS, rival utama pilpres 2019 lalu, untuk memajukan negeri ini.Â
Policy Jokowi ini sangat relevan untuk masa kini. Sejumlah negara besar pun pernah melakukan hal yang sama. Biarkan saja suara-suara sumbang dari RG, PA 212 dan aktivis LSM, atau para dosen atau peneliti ASN (yang memang dari dulu sudah anti Jokowi), di mana mereka menggambarkan seolah-olah negeri ini sudah mau kiamat, hanya karena JW dan PS bersatu.Â
Langkah JW dan PS yang sepakat menerapkan politik rekonsiliatif, merupakan ijtihad modern untuk negeri ini. Bukankah 268 juta rakyat negeri ini sudah jenuh dengan kekisruhan politik, yang tak akan mampu memberikan nasi tambah ketika mereka sedang makan. Soal pendukung, nanti mereka juga sadar sendiri. Tuh kebenaran akan selalu datang belakangan. Â
Nyatanya, rakyat banyak jika ditanya tentang kenyamanan saat ini, jauh dirasa sudah lebih baik. Survei juga menunjukkan mayoritas penduduk mengakui merasakan manfaat kebijakan negara. Rekonsiliasi JW dan PS, bisa jadi PDB negeri ini mengalahkan India dan Tiongkok.Â
Kasus Tiongkok, menjadi model yang sangat menarik. Meski pernah dipimpin rezim bertangan besi, nyatanya welfare state berhasil mereka bangun. Karena itu, biarkan JW dan PS "bersatu", larut dalam arus pragmatisme politik itu.Â