"Ngeri ngeri sedap". Begitu komentar keren mendiang Sutan Bhatoegana, politisi Partai Demokrat. Saya langsung teringat komen ini, setelah nonton akrobat fulitic (politik) Jokowi Prabowo. Bak sirkus dunia, akrobat politik keduanya telah memperlihatkan tayangan mutakhirnya, dengan langkah zig zag, yang oleh sebagian orang sama sekali di luar ekspectasi.Â
Terjadilah apa yang disebut dengan mufaraqah (perpisahan, atau keluar dari kelompok) politik. Rocky Gerung (RG) salah satunya. Tokoh fenomenal satu ini resmi mendeklarasikan diri menjadi "opposan nomor wahid", setelah sebelumnya bertahun-tahun menjadi pembela Prabowo Subianto (PS), Calon Presiden RI versi Partai Gerindra dan kelompoknya, melawan sang pertahana Joko Widodo (JW), usungan PDI Perjuangan beserta pendukungnya.Â
Bagi RG, pensiunan jenderal berbintang tiga itu sudah tak ideal lagi dijadikan sebagai icon bintang politik yang harus dibela. RG menyatakan sikap itu selain karena kedua tokoh yang semula berseberangan secara politik itu kini bermesraan, muncul lagi isu baru bahwa besar kemungkinan PS masuk kabinet Jokowi di periode kedua ini. Setelah lama menahan diri, karena sinyal pragmatisme politik antara JW dan PS sudah dalam sebuah kisaran nyata, maka RG pun menyatakan sikap politiknya ini.Â
Apa mau dikata, ternyata itu juga dialami petinggi komunitas 212, baik pengurus, alumni dan para pendukung setianya. Tentu juga FPI, dan GNPF Ulama. Apalagi bagi mantan pimpinan, pejuang dan syabab HTI, langsung menyatakan talak lima dengan PS. Kelompok 212 ini lebih dulu mufaraqah dengan PS, Â sejak adanya pertemuan JW dengan PS di stasiun MRT Lebak Bulus, minggu kedua bulan Juli lalu.Â
Melalui juru bicara yang juga Kepala Divisi Hukum PA 212, mereka resmi menyatakan "Selamat Tinggal Prabowo Subianto". Sekarang kami hanya taat dengan panglima yang ada di Mekkah, Habib Rizieq Shihab. Kami hanya sami'na waatho'na dengan beliau. Kami semua sakit hati, tegas Damai Hari Lubis, sang juru bicara.Â
Tak hanya itu, para pendukung JW saat Pilpres kemarin pun nampaknya bersuara miring pada JW. Sejumlah individu dari Partai Golkar misalnya, atau PKB, PPP, bahkan Nasdem, apalagi PDI Perjuangan, kerapkali menyindir Jokowi agar jangan sampai merekruit orang Gerindra ke dalam kabinet yang sedang mereka susun. Alasannya macam-macam. Mulai soal keseimbangan politik, hingga pragmatisme politik, dan sebagainya.Â
Jebakan PragmatismeÂ
Sebegitu salahkah jika ada aroma pragmatisme politik dalam diri JW dan PS ? Para ahli politik harus bisa memberikan pencerahan, agar opininya tak jadi liar, dan bisa menyesatkan warga negara. Hari ini saja terlalu banyak kekeliruan besar terkait eleman politik kebangsaan. Salah satu kekeliruannya, dan sekaligus menunjukkan kelucuannya, adalah sikap akademisi dan guru besar yang mengaku Pancasilais, tetapi ikut berjuang menegakkan khilafah, ideologi yang berlawanan dengan Pancasila.Â
Jika ini yang terjadi, dan terus melebar meracuni rakyat, maka patut diusulkan pembubaran Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIPOL) di negeri ini. Kenapa ? Karena rakyat kebanyakan sudah tak ngerti, serta tak faham lagi tentang praktek politik. Mereka telah tersesat fahamnya tentang kisi-kisi politik, baik teoritis mau pun praktis.Â
Padahal, Â politik itu perlu penyesuaian dan penyelarasan dalam praktek. Disinilah pragmatisme politik harus dimainkan. Pragmatisme politik selalu mengiringi lagu yang sedang ditabuh, mengikuti irama yang sedang didendangkan. Jogetnya pun menyatu, sehingga antara irama, lagu dan jogetnya, selalu linier. Paralel satu sama lainnya.Â