- E
Seringkali saya merenung, melakukan kontemplasi, serta menimbang-nimbang, apakah politik itu baik atau buruk ? Mulia atau terhina ? Terhormat atau tercela ? Saya mendapatkan jawaban dan fenomena yang tak pernah pasti. Ia bisa baik, kadang buruk.
Saya sudah baca teorinya Lord Acton (John Emerich Edward Dalberg-Acton). Orang ini sudah lama wafat. Tetapi, tesisnya hingga kini masih relevan. Begitu pula dengan Niccolo Machiavelli. Tesisnya tentang politik, dan beragam variabel yang mengikutinya menjadi sangat kontroversial.
Ditinjau dari sisi etimologis, pada awalnya politik itu begitu mulia, begitu terhormat. Ia berasal dari bahasa Inggris, yakni politic yang di sini bisa bermakna kebijakan atau kebijaksanaan. Bagi seorang Miriam Budiardjo, ilmuan terkemuka politik Indonesia, ia punya banyak makna dan kegiatan. Seperti sistem, proses penentuan sistem dan cara melaksanakan sistem itu sendiri. Selain itu, politik bisa menyangkut kegiatan, baik oleh partai, individu dan kelompok-kelompok politik lihat bukunya yang terkenal "Dasar-dasar Ilmu Politik".Â
Sejumlah scholar Barat pun memberikan sudut pandang berbeda-beda. Selain ada yang memaknai politik sebagai usaha atau menyusun kebijakan pembangunan untuk mencapai tujuan mulia, ada pula yang merumuskannya untuk mengejar kekuasaan (power).
Pergeseran definisi ini terjadi menunjukkan politik itu dinamis, berubah-ubah, sesuai keadaan yang terjadi. Politik yang semula begitu geuine, yang dipersonifikasikan dengan keikhlasan, dan juga excellent, berupa ide-ide unggul untuk kepentingan publik yang luas dan menyeluruh. Semua kekuasaan yang didapat semata untuk berbuat kebajikan, karena grand final-nya adalah justru untuk membentuk masyarakat sejahtera, adil dan makmur, serta merata dan berkesinambungan. Oleh George H. Sabine, melalui politik, rumus sederhanya adalah untuk membangun masyarakat yang berkeadilan, dan berkebebasan, yang didasari peraturan-peraturan atan undang-undang (A History of Pilitical Theory, terbit di New York, 1950).
Nyatanya, seperti diamati dalam tesis Lord Acton, di lapangan serba paradok. Ilmuan penganut agama Katholik yang hidup antara tahun 1834 hingga 1902 ini menyatakan, kekuasaan yang didapat tak selamanya dijalani dengan baik oleh para aktor politik. Mereka yang disebut politisi itu malah bisa (dan bahkan banyak) melakukan pelewengan kekuasaan yang didapatnya dalam praktik politik. Maka itu belakangan muncullah adagium Acton yang berbunyi : "power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely" (kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut itu absolut pula korupsinya). Acton bahkan menyebut orang-orang hebat cenderung jahat. Ini disampaikannya melalui sepucuk surat yang dikirim kepada seorang Uskup Anglikan, Uskup Mandell Creighton, bulan April 1887.
Opini Acton, sebetulnya salah satu bentuk keprihatinan seorang sejarawan. Dengan latar belakang seorang penganut  agama Katholik Roma, ia prihatin terhadap kehidupan politik yang diamatinya. Tesis ini justru semakin logis ketika dikaitkan dengan tesisnya Niccolo Machiavelli, seorang filosuf dan diplomat Italia. Sebagai filosuf, ide dan gagasan Niccolo tentang politik sangat cemerlang. Sebagai seorang diplomat, Machiavelli harus bisa menerapkan seni berpolitik yang tentu saja harus bisa menguntungkan dirinya, kelompoknya dan juga negaranya. Pengalaman itulah yang kemudian ia tuangkan dalam sebuah buku tipis berjudul : The Prince (Il Prince).
Buku itu ditulisnya tahun 1513 mesihi, setelah yang bersangkutan diasingkan dari urusan kenegaraan oleh penguasa. Buku ini semacam rekomendasi buat kaum tiran di mana pun, untuk mempertahankan kekuasaannya. Melalui buku ini Machiavelli ingin menggambarkan betapa buruknya praktik dunia politik itu, sebuah perilaku yang tidak bermoral, penuh ketidak jujuran, dan bisa membunuh orang lain yang tidak bersalah. Ironisnya, semua itu dianggap sebagai sesuatu yang normal, biasa saja, dan sangat efektif untuk mencapai serta mempertahankan praktik politik kekuasaannya.
Di sisi lain, kita juga sepakat, praktik politik itulah yang membuat sebuah negara bisa damai, maju, sejahtera, adil dan makmur, yang berkesinambungan dan bahkan juga berkemajuan. Negara-negara maju, sebutlah seperti sejumlah negara di kawasan skandinavia di Eropa Barat, mereka maju karena praktik politik (kekuasaan) yang sehat, adil dan seimbang, serta didukung rakyatnya. Begitu pula dengan New Zealand, yang belakangan kerap dikagumi, bahkan negeri ini disebut-sebut sangat Islami, karena kenyamanan dan kedamaiannya dalam berpolitik. Itu artinya, tak ada masalah dengan politik, berikut demokrasi, variabel lain dalam praktik politik.
Ini menunjukkan, politik bisa baik dan bisa buruk. Bisa mulia, bisa hina. Bisa bermartabat, bisa camuh. Bisa hasas, dan bisa pula culas. Semua kemungkinan bisa terjadi. Itu semua tergantung pada pelakunya, aktornya, atau politisi itu sendiri. Jika aktornya itu baik, maka hasilnya dapat dipastikan akan lebih baik. Sebaliknya, jika aktornya jelek, ada kecenderungannya juga jelek.