Anwar El Ghazi, Pemain Belanda keturunan Maroko
Sudah lebih setengah bulan perhatian penghuni bumi ini ke Rusia, negeri yang dulu terkenal sebagai salah satu imam penggerak faham komunisme - sosialisme. Negeri ini dulunya tergabung dalam sebuah federasi bangsa-bangsa, bernama Uni Soviet. Era itu ada "perang dingin" antara blok barat dan blok timur. Blok barat dimotori oleh Amerika Serikat (AS), dan blok timur dipimpin oleh Uni Soviet (US).
Power US sungguh luar biasa. Di kawasan Amerika Latin, ada sekutunya seperti Kuba dan sejumlah negara berfaham komunis di sekitarnya. Di Eropa, ada Polandia, Albania, Yugoslavia dan sejumlah negara federasinya. Di Asia, sangat luar biasa, ada RRC, Korea, Afghanistan, Vietnam, Kamboja dan sebagainya. Di Afrika pun juga ada sekutunya seperti Kongo, Angola dan sebagainya.Â
Gara-gara faham komunis ini, sejumlah negara terpecah belah. Jerman pernah menjadi dua, yakni Jerman Barat dan Jerman Timur. Lantas ada pula Yaman Utara dan Yaman Selatan, ada Vietnam Utara dan Vietnam Selatan, ada Korea Utara dan Korea Selatan, dan sebagainya. Sejarah panjang perang ideologi ini lumayan memakan energy yang tak sedikit, dan menjadikan peperangan yang tak henti-henti. Setidaknya untuk era tersebut.
Runtuhnya tembok Berlin di penghujung tahun 1980-an dan ambruknya Uni Soviet di awal tahun 1990-an mengantarkan kehidupan dunia ke suasana baru. Perang Dingin pun sirna, meski konflik antar negara tak kunjung hilang. Persaingan, kompetensi, bahkan pertarungan demi pertarungan antar negara malah menguat. Ruang kompetensinya pun malah makin melebar. Setidaknya itulah yang nampak hari ini, AS misalnya, yang selalu merasa sebagai negara super power, terlebih kini setelah dipimpin politisi gaek Trump, mereka malah bisa berbuat semena-mena, membuat banyak negara lainnya mengurut dada. Hatta dari sejumlah negara sekutunya seperti Eropa.
Perang dagang antara AS dengan China misalnya, kini makin mengglobal. Sejumlah negara lain pun larut oleh keadaan tersebut. Belum lagi konflik laten AS dengan Rusia, yang terkait dengan keinginan untuk berkuasa di negara-negara lain, misalnya seperti terlihat di kawasan Timur Tengah, nampaknya bisa menjadi semacam bom waktu yang bisa merusak atau mengganggu terhadap perdamaian dunia.
Hingga hari ini, konflik yang mengganggu akan perdamaian dunia terus saja muncul. Walau sudah ada semacam gerakan untuk berdamai, konflik Korea Utara dengan Selatan bisa saja meledak. Konflik Israel vs Palestina, tak jelas akan seperti apa. Konflik Suriah tak henti-henti. Begitu juga di Iran, Irak, Yaman, Afghanistan, Mexico, sejumlah negara Balkan, dan lain sebagainya, di mana di negara-negara tersebut jika tak ada upaya damai, bisa saja memacu perang yang lebih besar.
Kemaslahatan Dunia
Event Piala Dunia seperti yang sedang berlangsung di Rusia hari ini, sudah berlangsung sekitar sejak Satu Abad yang lalu. Event ini kini rutin dilaksanakan, dilangsungkan sekali selama 4 tahun. "Aruh Ganal" (acara akbar) dikoordinasi oleh FIFA, sebuah institusi internasional yang mengurusi sepak bola. Selain mengurusi "Piala Dunia" ini, FIFA juga mengurusi "Piala Eropa", kompetensi di Afrika, Amerika Latin, Asia, dan semua negara yang menyelenggarakan pertandingan sepak bola.
Event "bola dunia" ini sangat luar biasa. Manusia yang tadinya berkonflik, baik karena faktor ideologi, bisnis, politik dan persaingan lainnya, bisa menjadi rukun di event bola dunia seperti yang hari ini berlangsung di Rusia. Olahraga memang luar biasa. Suka atau tidak, salaman antara dua pemimpin Korea yang sejak lama berseteru, dimulai oleh event olahraga. Pengaruhnya pun melebar, di mana pemimpin Korea Utara pun bisa mesra dengan musuh besarnya, Amerika Serikat.
Event ini juga mengeluarkan dana yang tidak sedikit. Andai saja ada kesepakatan antara para pengurus dan tokoh FIFA untuk menyumbangkan uang mereka kelola dan gunakan dari dana kompetisi piala dunia ini, entah berapa negara miskin yang bisa tertolong karena itu. Baik hanya sekadar untuk melunasi utang-utang negara berkembang, termasuk Indonesia, atau memang buat membangun infrastruktur bagi negara-negara yang memang sangat membutuhkannya.
Oleh karena itu, tak ada salahnya event sepak bola dunia ini juga digunakan sebagai sharing gerakan pembangunan dunia, entah itu untuk urusan perdamaian dunia, urusan kebudayaan, perekonomian, dan lain sebagainya. Melalui event bola dunia ini, FIFA bisa ikut pula menekan sejumlah negara yang telah melanggar HAM, melakukan kolonisasi, genosida, dan perilaku buruk lainnya, untuk kebaikan bersama.
Karena itu layak sekali jika event bola dunia ini sekaligus dimanfaatkan juga untuk komunike bersama, sebagai bentuk sumbangsih dunia olahraga, khususnya sepak bola, kepada dunia. Event ini sungguh menjadi besar maknanya, misalnya jika ikut membangun perdamaian dunia. Event ini juga menjadi sangat bermakna, jika mampu memberikan solusi terkait persoalan-persoalan humanisme.
Dalam konteks itulah menjadi relevan jika saja para tokoh dan pimpinan FIFA mau merombak agenda acara akbar 4 tahunan ini. Agenda utama tetap dijalankan, tetapi juga melebarkan agendanya untuk hal-hal yang produktif bagi kemanusiaan. Apakah ini mungkin ? Sangat mungkin. Seberapa jauh para elite dan tokoh FIFA itu sendiri mau merespon dan melaksanakan ide ini. Mudah-mudahan, transformasi dunia akan selalu menuju ke arah yang konstruktif dan positif bagi kemaslahatan dunia ...
Insya Allah ... !!!
*HM. Syarbani Haira, dosen tetap pada Prodi Planologi, Universitas NU KalselÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H