Mohon tunggu...
Syaqilla Az Zikri
Syaqilla Az Zikri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Brawijaya

turning thoughts into words & politics

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pajak Lagi, Tahan Nafas Lagi

19 Desember 2024   22:35 Diperbarui: 19 Desember 2024   22:34 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tolak PPN 12% (Sumber: @RJLetsGo on X)

Ketika pemerintah mengumumkan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, banyak yang menganggap ini hanyalah angka di atas kertas. Namun, bagi rakyat kecil, kebijakan ini adalah ancaman nyata. Kenaikan PPN bukan sekadar strategi fiskal, tetapi simbol dari bagaimana keberpihakan pemerintah mulai dipertanyakan. Apakah ini langkah menuju stabilitas, atau sekadar menambah beban rakyat di tengah situasi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih?

Indonesia masih bergelut dengan dampak pandemi, ketidakpastian global, dan inflasi yang mulai menekan. Dalam kondisi ini, kenaikan tarif PPN bagaikan jerat yang semakin mengencang. Harga kebutuhan pokok seperti beras, minyak goreng, hingga gas LPG yang menjadi tulang punggung konsumsi rakyat terus merangkak naik. Kenaikan 1% tarif PPN saja berpotensi menyumbang inflasi hingga 0,5%. Maka, kenaikan menjadi 12% bukan sekadar kebijakan, tetapi lonjakan beban yang akan dirasakan langsung oleh rakyat.

Bagaimana dampaknya? Daya beli masyarakat menengah ke bawah, yang selama ini menjadi motor penggerak utama ekonomi nasional, dipastikan akan terpukul. Saat konsumsi rumah tangga melemah, roda perekonomian pun tersendat. Dengan kontribusi lebih dari 50% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), penurunan konsumsi ini tak ubahnya ancaman bagi pertumbuhan ekonomi itu sendiri.

Narasi pemerintah selalu berfokus pada alasan fiskal. Kenaikan PPN disebut sebagai solusi untuk menambal defisit anggaran, mendukung pembangunan, dan menjaga stabilitas. Tetapi siapa yang paling terdampak oleh kebijakan ini? Jawabannya jelas: mereka yang paling lemah secara ekonomi.

Masyarakat kecil akan menghadapi beban ganda---harga kebutuhan yang terus naik dan tambahan pajak di setiap transaksi. Mereka yang berada di garis kemiskinan akan semakin terdesak, sementara kelompok menengah perlahan kehilangan daya beli mereka. Ironisnya, di tengah janji keadilan sosial, kebijakan ini justru menciptakan kesenjangan yang semakin dalam.

Kenaikan PPN juga mempertanyakan keberpihakan pemerintah terhadap rakyat. Jika stabilitas fiskal menjadi prioritas utama, mengapa beban harus ditanggung oleh rakyat kecil? Mengapa bukan reformasi pengelolaan anggaran atau efisiensi birokrasi yang lebih dahulu diperjuangkan?

Selain itu, transparansi penggunaan dana pajak masih menjadi pekerjaan rumah besar. Rakyat berhak mengetahui ke mana pajak mereka digunakan. Ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah sering kali bersumber dari minimnya akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara.

Pada akhirnya, PPN 12% bukan hanya tentang angka atau persentase. Ini adalah cerminan dari bagaimana pemerintah memperlakukan rakyatnya. Dalam setiap kebijakan yang diambil, suara rakyat seharusnya menjadi yang utama, bukan hanya sekadar statistik dalam laporan ekonomi. Karena apa gunanya stabilitas fiskal, jika itu diperoleh dengan mengorbankan kesejahteraan jutaan rakyat kecil?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun