Mohon tunggu...
Syaqila Pasya Prastowo
Syaqila Pasya Prastowo Mohon Tunggu... Mahasiswa - UPNVJ

saya adalah mahasiswa UPNVJ

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Defisit Gagal Bayar BPJS: Ancaman Nyata bagi Keberlanjutan Jaminan Kesehatan Nasional

24 November 2024   22:12 Diperbarui: 24 November 2024   22:14 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh BPJS Kesehatan merupakan tonggak penting dalam memberikan akses layanan kesehatan kepada seluruh masyarakat Indonesia. Namun, dalam perjalanannya, program ini menghadapi tantangan serius yang berpotensi mengganggu keberlanjutannya. Pada tahun 2024, salah satu isu utama yang mencuat adalah rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebagai upaya untuk menutup defisit anggaran yang diperkirakan mencapai Rp 20 triliun. Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, mengungkapkan bahwa peningkatan utilisasi layanan kesehatan menjadi faktor utama yang mendorong defisit tersebut. Ia menyatakan, "Yang bikin defisit tentu utilisasi, karena utilisasi itu meningkat. Dulu cuma 252.000 sehari, sekarang 1,7 juta sehari." Langkah ini, meskipun bertujuan untuk menjaga keberlanjutan program, sering kali memicu kontroversi karena dinilai memberatkan sebagian masyarakat.

Defisit anggaran menjadi penyebab utama di balik kebijakan kenaikan iuran ini. Defisit terjadi karena tingginya biaya klaim pelayanan kesehatan yang tidak sebanding dengan pendapatan dari iuran peserta. Faktor seperti peningkatan utilisasi layanan kesehatan, ketidakseimbangan jumlah peserta aktif, dan pola pembayaran iuran yang tidak konsisten, terutama dari peserta mandiri, memperburuk situasi ini. Selain itu, inefisiensi dalam pengelolaan anggaran juga turut menjadi kendala dalam menjaga stabilitas keuangan BPJS.

Dampak dari defisit ini sangat serius, salah satunya adalah gagal bayar klaim kepada rumah sakit dan penyedia layanan kesehatan. Situasi ini tidak hanya mengancam operasional fasilitas kesehatan, tetapi juga dapat mengurangi kualitas pelayanan yang diterima oleh masyarakat. Jika kondisi ini tidak segera ditangani, BPJS Kesehatan berpotensi kehilangan kepercayaan dari masyarakat dan penyedia layanan kesehatan, yang dapat membahayakan keberlanjutan program JKN.

Melihat situasi ini, diperlukan langkah strategis untuk mengatasi defisit, menyusun kebijakan kenaikan iuran secara bijak, dan memastikan pengelolaan anggaran yang lebih efisien. Hal ini penting agar program BPJS Kesehatan tetap mampu memberikan layanan kesehatan yang merata, terjangkau, dan berkualitas bagi seluruh rakyat Indonesia.

Fakta di Balik Defisit

Defisit BPJS bukan masalah baru. Sejak awal, program ini dihadapkan pada tantangan besar: bagaimana memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat yang terus meningkat dengan sumber daya terbatas. Salah satu penyebab utama adalah biaya klaim atas penyakit katastropik seperti gagal ginjal, kanker, dan jantung yang menyerap 30% dari total anggaran BPJS. Selain itu, peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI), yang dibiayai oleh pemerintah, menyumbang beban terbesar karena jumlahnya yang mencapai 96 juta jiwa.

Namun, masalah tidak hanya berhenti di situ. Peserta mandiri, yang seharusnya menjadi salah satu pilar pendanaan, memiliki tingkat kepatuhan yang rendah. Pada 2024, hanya 54% peserta mandiri yang membayar iuran tepat waktu. Akibatnya, pendapatan dari iuran tidak mampu menutupi biaya pelayanan. Di sisi lain, keterlambatan pembayaran klaim oleh BPJS menyebabkan rumah sakit mengurangi kapasitas layanan bagi pasien BPJS. Antrean panjang, keterbatasan obat-obatan, dan pelayanan yang seadanya mulai menjadi pemandangan umum di beberapa daerah.

Nasib Masyarakat: Di Mana Solusi?

Dampak defisit ini dirasakan langsung oleh masyarakat. Pasien BPJS kini harus menghadapi risiko layanan kesehatan yang tidak optimal. Rumah sakit, yang bergantung pada pembayaran klaim BPJS, mulai membatasi layanan untuk pasien JKN. Bahkan, sejumlah fasilitas kesehatan kecil di daerah terpencil terpaksa gulung tikar karena tidak mampu menanggung biaya operasional.

Di tengah situasi ini, rencana kenaikan iuran menjadi langkah kontroversial. Kenaikan ini memang masuk akal untuk memperbaiki neraca keuangan BPJS, tetapi bagaimana dengan masyarakat kelas bawah yang sudah terhimpit ekonomi? Survei LIPI pada 2024 menunjukkan bahwa 45% peserta mandiri merasa kesulitan membayar iuran. Jika kenaikan iuran diterapkan tanpa solusi pendukung, potensi tunggakan iuran akan semakin meningkat, memperburuk defisit yang sudah ada.

Reformasi Sistem atau Gagal Bayar?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun