gumpalan hujan berarak perlahan
menyusup pori-pori di ketiak awan
angin meniupnya ke arah selatan Â
membawa jutaan sel keberkahanÂ
petir dan halilintar beradu bersahutan
merobek memburaikan perut awan
saat waktu berada di antara sepenggalan "kun"
jadilah ia hujan berjatuhan, terjun turunÂ
sebagian bumi nusantara kini gersang
setelah kebakaran melahap dedaun rindang
padahal ia dicipta sebagai temali bertautan
tersambung ke semesta dimensi mizanÂ
hujan, mahluk yang setia pada titah Tuhan
ia penuh keikhlasan membuahi tetumbuhan
sawah, ladang, irigasi jadi penuh kemanfaatan
menjaga manusia dari bencana kepunahanÂ
sedang manusia penuh keserakahan Â
demi kepuasan tak berhenti membakar hutan
untuk memenuhi kebutuhan permukiman
juga untuk meningkatkan laba dan keuntungan Â
ke manakah limpasan air hujan
jika area resapan terus menghilang
tak ada pohon penahan penyimpan cadangan
keberkahan pun berganti menjadi bencana mengerikanÂ
manusia selalu tak mau disalahkan
malah menjadikah hujan sebagai kambing hitam
ketika ia memenuhi halaman rumah dan jalan-jalan
sehingga bencana banjir tak dapat dielakkanÂ
padahal alam diciptakan penuh keseimbangan
untuk dijaga agar tidak punah lalu tenggelam
bukankah atlantis pernah menjadi simbol peradaban
sebab kedurhakaan mereka dipunahkanÂ
bencana banjir dan kebakaran hutan
bukanlah semata murka dan kemarahan alam
ia menjadi alarm yang akan terus berbunyi
ketika manusia terus lupa diriÂ
sebab bencana, flora rusak, fauna berang
ekosistem alam hancur berantakan
dan kerakusan terus membelenggu insan
menggerogoti bumi menunggu ledakanÂ
Bandung, 28 Agustus 2016
Tulisan lain dapat dibaca di sini dan di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H