Mohon tunggu...
Syamsuni Albusyro
Syamsuni Albusyro Mohon Tunggu... -

Jangan silau pada hasil, tapi kagumlah pada proses

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Seribu Tanda Tanya untuk Kurikulum 2013

4 Oktober 2013   02:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:01 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

“Kurikulum 2013 dirancang untuk menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi pengetahuan, keterampilan, dan sikap secara utuh. Hal ini penting dalam rangka antisipasi kebutuhan kompetensi abad 21, dan menyiapkan generasi emas 2045”

(Pidato Moh. Nuh, Kemendikbud RI saat Hardiknas, 2 Mei 2013)

Kurikulum 2013 sudah berlangsung 3 bulan lebih. Ada 6.325 sekolah pada jenjang SD, SMP, SMA dan SMK dari 33 Provinsi yang tersebar di 295 Kabupaten telah menerapkan kurikulum 2013. Belum lagi, kurang lebih ada 1.488 sekolah di luar sekolah sasaran mengajukan diri menerapkan kurkulum 2013 secara mandiri.

Lebih jauh membincang kurikulum, jika boleh meminjam bahasanya Sukemi, Staf Khusus Mendikbud Bidang Komunikasi di Jawa Pos beberapa waktu lalu, di sejumlah sekolah yang secara “istimewa” ditunjuk oleh pusat sebagai awal pembuka bagi spirit kurikulum 2013, jelas ada yang baru di kelas 1, 4, 7, dan 10 pada jenjang SD, SMP, SMA/SMK. Hal baru yang dimaksud tak ada lain kecuali merujuk kepada empat komponen utama yang digadang-gadang akan memberikan suasana yang berbeda bagi kegiatan belajar mengajar. Empat komponen yang menjadi tonggak kekuatan kurikulum 2013 adalah (1) standar kompetensi lulusan; (2) standar isi; (3) standar proses; dan (4) standar penilaian. (Jawa Pos/15/07/13).

Bahkan dengan bangga Sukemi menyebut kurikulum 2013 akan menjadi solusi alternatif bagi kegelisahan pendidikan selama ini. Dua hal akan menjadi semangat membangun pendidikan berkualitas, yaitu pertama buku yang digunakan akan berbeda dari sebelumnya, serta metodologi pembelajaran yang diterapkan menekankan pada pendekatan ilmiah, sehingga nantinya bisa mendorong anak didik untuk terus melakukan observasi, bertanya, bernalar, mengomunikasikan hingga dalam hemat Staf Khusus Mendikbud Bidang Komunikasi Media tersebut bahwa kurikulum 2013 akan menjadi awal tonggak kemajuan pendidikan, maka perlu disemangati.

Namun, melihat beberapa hasil temuan di beberapa daerah, kurikulum baru yang digadang-gadang sebagai kurikulum “masa depan” itu ternyata tidak cukup hanya untuk disemangati, seperti kata Sukemi. Sebab kalau boleh penulis mengambil hipotesa dari hasil temuan, ternyata sekolah masih belum siap menerapkan kurikulum.

Sebagai sebuah bukti. Di Kabupaten Sumenep misalnya, ada 28 sekolah yang ditunjuk oleh Dinas Pendidikan setempat. Satu hingga dua bulan berjalan, kurikulum 2013 tak ada kabar (bukan karena tidak ingin mengabarkan), karena sekolah sepertinya memang tidak mau mengabarkan. Rasional kiranya jika mereka tidak ingin mengabarkan, karena mereka sadar, kurikulum 2013 agak berat, sehingga mereka lebih baik menunggu bola, tidak menjemput bola.

Ahkhirnya, beberapa waktu lalu, Dewan Pendidikan Kabupaten Sumenep sebagai badan pengawas pendidikan mencoba turun tangan ke beberapa sekolah yang ditunjuk oleh Dinas Pendidikan. Hasil temuannya adalah, hampir semua sekolah yang didatangi menerapkan kurikulum secara serampangan, bahkan terkesan amburadul. Sebut saja misalnya dari segi komponen penting dari kurikulum seperti materi dan guru. Materinya diwajibkan diterapkan 6, hanya 3 materi saja yang diberlakukan, gurunya pun minim pengalaman, karena tak pernah merasa ada yang dilatih. Bahkan parahnya, silabus, buku pegangan murid dan guru tidak ada kesamaan. Ah, patut kiranya, seribu pertanyaan itu dipersembahkan untuk kurikulum 2013 melihat segudang kelamahan hinggap pada kurikulum yang “katanya” dirancang untuk masa depan pendidikan yang berakrakter dan berkualitas.

Penulis tak mau menghakimi beberapa sekolah yang telah ditunjuk, termasuk tak perlu pula harus mengkambing hitamkan kurikulum 2013. Di satu sisi, siap atau tidak siap (apalagi harus digagalkan) kurikulum baru memang harus tetap berjalan, sehingga butuh dicoba dan dicicipi oleh sekolah; nasi sudah menjadi bubur, maka sekalian harus ditelan, pahit atau tidak, itu belakangan. Paling tidak, mereka tahu apa yang perlu disemangati dari hadirnya kurikulum tersebut. Apa benar, kurikulum tersebut akan menjadi solusi dari problem pendidikan yang tak kunjung usai, atau kurikulum tersebut perlu disemangati karena sebagai gebrakan baru menuju pendidikan yang lebih bagus dan berkualitas

Namun, hemat penulis, mengingat pidato Moh. Nuh di atas, serta ucapan semangat dari Sukemi, sepertinya kurikulum “kita” tak segarang apa kata mereka. Seolah kurikulum 2013 bukan dirancang untuk menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi pengetahuan, keterampilan, dan sikap secara utuh. Apalagi harus memenuhi kebutuhan kompetensi abad 21, dan menyiapkan generasi emas 2045.

Dan penulis adalah salah satu orang yang skeptis terhadap kurikulum 2013. Kenapa? Ada dua alasan. Pertama, berbagai pusat studi telah membuktikan bahwa perubahan kurikulum tidak bisa jadi penentu terhadap kualitas pengajaran dan pembelajaran dalam pendidikan. Menurut lembaga studi The Learning Curve (2012) telah melakukan penelitian bahwa faktor-faktor yang dapat memperbaiki sistem pendidikan bukanlah ada pada kurikulum. Menurutnya, jantung pada kualitas pendidikan adalah guru dan budaya kualitas pendidikan. Sebab guru yang berpotensi dan professional adalah idaman siswa-siswa unggul. Maka tak terlalu berlebihan jika negara seperti Finlandia dan Korea Selatan membina guru dengan baik dengan sistem rekrutmen guru yang profesional; dilatih dan dibina.

Salah satu hal hal paling penting pula adalah kualitas budaya pendidikan. Budaya pendidikan yang baik adalah budaya yang menekankan terhadap integritas dan profesionalitas antar praktisi pendidikan dengan para pengambil kebijakan dengan satu visi; demi keadilan sosial. Sehingga akses pendidikan yang berkualitas dapat menjamin seluruh warga negara.

Kedua, asalan yang paling penulis jengkel mendengar kurikulum 2013 adalah tentang pencampuradukan antara kompetensi pendidikan karakter dengan kompetensi disiplin ilmu. Bagi penulis kompetensi disiplin ilmu hanya dapat dijelaskan melalui landasan filosofis dengan tradisi keilmuan siswa bersangkutan. Memang dalam setiap pelajaran nilai-nilai pendidikan moral dan karakter dapat diterapkan, tetapi tidak harus menjadi bagian dari kompetensi disiplin ilmu yang bersangkutan.

Oleh karena itu, benar adanya ketika kurikulum 2013 terkesan amburadul. Karena sejak awal semua orang sudah khawatir bahwa penerapan ini terkesan gesa-gesa dan layak kiranya seribu tanda tanya dihadiahkan bagi kurikulum 2013. Karena jika hendak meningkatkan mutu pendidikan, maka seharusnya kita paham dan belajar dari pengalaman dan berbagai studi, karena bukanlah pada kurikulumnya yang perlu diperbaiki, tetapi ada elemen yang lebih penting, yakni seperti kualitas rekrutmen pendidikan dan pelatihan guru, sarana dan prasarana pendidikan non unggulan yang kemarin jadi korban proyek RSBI. Termasuk pula yang penting adalah membentuk budaya professional yang penuh integritas di seluruh jajaran birokrasi dan praktisi pendidikan nasional. Alhasil, kualitas pendidikan akan berjalan efektif dan efisien, agar perubahan kurikulum selalu menjadi lahan empuk untuk menurunkan proyek. Apalagi untuk tahun depan, kurikulum 2013 akan diberlakukan secara massal. Mohon pikiran secara matang. []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun