Aceh pasca MoU Helsinki tidak hanya mampu menghentikan konflik berkepanjangan selama ini tetapi juga ditandai dengan geliat penegakan syariah di dalam berbagai dimensi kehidupan yang mengalami pasang surut. Penegakan syariah dilegitimasi dengan kekuatan hukum dan perundangan yang ada. Demikian juga sebagai imbas perputaran waktu dan dinamika kehidupan yang berkembang, termasuk terjadinya pergumulan antar budaya karena Aceh telah begitu terbuka dengan dunia luarnya, mau tidak mau telah menumbuhkan kultur baru yang dinamik baik membawa nilai positif maupun negatif. Sejalan dengan perkembanganyang ada, percikan hedonisme tidak dapat dihindari telah merasuk dalam keseharian masyarakat. Kedua entitas ini saling berebut dalam tatanan kehidupan masyarakat.
Dasar pemikiran penegakan syariah di Aceh antara lain diinspirasi oleh realitas politik dan ataupun subtansi keislaman itu sendiri. Pemaknaan bahwa Islam, dalam konteks kajian dijadikan sebagai instrumen yang bertujuan untuk dapat mengantar kehidupan seseorang kepada keselamatan hidup dunia dan akhirat. Merujuk kepada makna akar kata, Islam ia diartikan selamat. Dalam perspektif ini pula siapa yang memiliki komitmen teguh terhadap keislamannya berarti dia telah menyediakan dirinya untuk berada pada posisi kehidupan selamat di dunia dan selamat di akhirat. Penelaahan terhadap Islam akan dapat dikonstruksi lewat pangkajian yang detail akan kandungan Islam yang meliuputi tiga hal pokok penting, yaitu konsep iman, konsep islam serta konsep ihsan. Formulasi ketiga konsep ini berada pada tataran Islam sebagai aqidah, syariah dan akhlak. Kehadiran Muhammad Saw sebagai pengemban risalah Islam itu sendiri adalah untuk mengimplementasikan nilai-nilai dasar tersebut di dalam kehidupan kemanusiaan.
Nilai dasar yang paling urgen serta esensial yang harus dimiliki oleh seorang muslim adalah akhlak yang mulia. Inilah maksud penegasan Rasulullah Saw bahwa kehadiran beliau untuk penyempurnaan bgudi pekerti mulia (innama bu'istu liutammima makari al-akhlak). Sense of morality harus dijadikan fondasi yang amat mendasar terhadap memaknai pelbagai realitas kehidupan yang kita lalui. Dunia adalah penuh tantangan serta godaan, tanpa akhlak yang mulia seseorang akan terjerumus dengan tipu daya kehidupan duniawi termaksud.
Diantaranya, sikap hidup hedonistic yang merambah dalam sendi-sendi kehidupan manusia saat ini. Kondisi sosial manusia yang diperbudak oleh kehidupan sosial yang menyenangkan tanpa ada batasan normatif akan menjebak kepribadiannya untuk mengedepankan hidup sesaat. Dalam realitas sosialnya, prinsip hedonisme dalam tataran moral yang menyamakan kebaikan dengan kesenangan dan adanya pandangan bahwa kesenangan atau kenikmatan merupakan tujuan hidup dan tindakan manusia atau harus dijadikan sebagai tujuan hidup dan tindakan manusia.
Dalam perspektif filsafat memiliki aliran yang berkembang pesat seperti kaum kirene dengan pendirinya Aristippus Epikuros berpandangan bahwa kebaikan tertinggi dalam hidup adalah tidak adanya rasa sakit dan kenikmatan yang menjengkelkan yang menyebabkan rasa sakit atau rasa tidak senang. Tujuan hidup adalah ataraxia suatu ketenangan tubuh, pikiran serta roh. Dalam perkembangannya, hedonism ini tumbuh menjadi pemahaman yang massive di tengah kehidupan sosial masyarakat modern menjadi suatu tatanan sosial yang berpengaruh serta mempengaruhi sistem sosial yang ada. Seperti, hedonisme etis egoistis; paham ini beranggapan bahwa manusia selalu berbuat dengan cara apapun yang akan memberikannya kesenangan sebesar-besarnya bagi dirinya sendiri. Kecendeungan ini adalah kehidupan yang ego centris. Dan hal yang berbeda adalah, hedonisme etis universal yang menilai bahwa setiap manusia harus selalu berbuat dengan cara apa saja yang akan memberikan kesenangan sebesar-besarnya bagi jumlah terbesar orang dalam jangka panjang.  Dalam tataran filosofik sering ditemui sebutan hedonik yang berarti kualitas benda yang menghasilkan kesenangan dan hedonika yang bermakna segi etika yang mengungkapkan hubungan tugas atau kewajiban dengan kesenangan. Kondisi inilah yang mengungkapkan realitas sosial sebagai kecenderungan sebuah masyarakat yang terikat dengan pola hidup yang hedonistik sehingga muncul tatanan sosial yang mengabaikan nilai-nilai normatif yang dianut hanya untuk kepentingan sesaat (baca: sebagai pemahaman normatif keberagamaan).
Renungan terhadap Realitas sosial masyarakat kita.
Komunitas yang tinggal di Aceh (baca: masyarakat Aceh) secara defacto maupun dejure adalah komunitas masyarakat secara sosial memiliki kewenangan menegakkan syariat Islam yang diyakininya secara konprehensif tanpa harus terbebani oleh nilai-nilai yang dapat menghambat proses penerapan syariat itu sendiri. Namun dalam realitas sosialnya masih banyak ditemui entitas masyarakat yang terbuai dengan kehidupan sesaat yang terlampaui oleh nilai dan norma yang dianut. Sebut saja misalnya, kecederungan sebagian komunitas yang berupaya menata hidup hanya diukur oleh dunia materi  semata, dalam sisi pencapaian, pemanfaatan masih diliputi oleh ukuran bendawi tanpa harus disentuh dengan nilai-nilai normatif Islam.
Kalau ini disebut sebagai claim bisa saja ditolak oleh berbagai pihak. Namun sebelum itu diperlukan juga kearifan yang bersahaja, bahwa betapa banyak komunitas kita yang telah mengabaikan nilai-nilai prinsip kehidupan yang telah diterapkan oleh endatu hanya untuk mengejar untuk kepentingan dunia material. Apa yang saya amati adalah, bersamaan dengan sebuah komunitas masyarakat (baca: rakyat Aceh) mengabaikan nilai-nilai tradisi adat-istiadat keacehannya akan memiliki kecenderungan akan dengan sangat mudah terkontaminasi dengan nilai-nilai hedonistik yang menular dalam berbagai dimensi kehidupan.
Kembali kepada nilai tradisi yang berbasiskan syariat akan dapat membentengi diri manusia ke dimensi etis normatif yang diharapkan menjadi role model bagi komunitas lainnya. Dari sisi ini tugas dan tanggung jawab komunitas yang menjunjung tinggi nilai syariat itu menjadi sangat spesifik. Sehingga ia tidak mudah disetrum oleh segala bentuk paham ataupun aliran yang dapat menggerogoti nilai-nilai normatif yang dianut.
Bagaimanapun juga kesenangan, kebahagiaan semu tanpa disertai dengan pertimbangan nilai-nilai normatif moral keberagamaan yang dijadikan sebagai orientasi hidup adalah langkah keliru. Kalau saja dapat dipahami bahwa prinsip dasar hedonik sebagai bentuk kondisi sosial duniawi yang tak terbantahkan, sudah saatnya kita mereview kembali apa yang diisyaratkan Abu Hurairah ra sebagai hadis Nabi Saw, beliau bersabda bahwa: inn al-dunya mal'unat mal'un wama fiha, illa ndzikr Allah wama wa Lahu, wa 'alimun, wa mutaalimun (hr Ahmad). Apa yang dapat dipetik dari sabda tersebut, bahwa duniawi ini adalah terlaknat termasuk segala isinya (baca; termasuk prinsip hedonisme) kecuali orang yang berdzikir (ingat) kepada Allah, orang yang berilmu (tambahan di hadis lain mengamalkan ilmunya) dan orang yang belajar.
Ya, kita dapat memahami, bahwa dunia ini penuh tipu daya karena itu dia terlaknat. Kalau kita tidak arif menyikapi dunia beserta segala isinya tentu kita akan diperbudak oleh dunia, disinilah posisi duniawi itu terlaknat. Diharapkan hanya mereka yang berdzikir, memiliki ilmu serta belajarlah yang mampu menahan serta menselaraskan kehidupan duniawi penuh tipu daya ini diolah menjadi sebuah kebajikan, karena prilaku kita di dalam pemanfaatan duniawi ini diredhai oleh Allah. Bukankah redha ilahi itu menjadi urgen bagi menusia yang mengedepankan nilai-nilai normatif keberagamaan di dalam kehidupannya.Terkait dengan hedonisme, tentu saja kita tidak dapat pungkiri menjadi trend kehidupan komunitas hari ini. Ini tidak lebih kareka kepribadian yang telah menuhankan dunia meterial sebagai tujuan hidup. Dalam posisi ini diperlukan kearifan kembali kepada nilai-nilai tradisi adat istiadat serta nilai normatif keberagamaan dalam dimensi ferennial dapat membentengi diri terhindar dari pengaruh hedonik. Naskah ini merupakan resume diskusi di Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Provinsi Aceh, di Banda Aceh, 04 September 2009.