Melihat wajah ceria calon sarjana yang mengikuti acara Yudisium, saya teringat masa lalu jelang wisuda. In memori ini telah memetakan pemikiran saya yang apresiatif terhadap kondisi detik-detik menentukan bagi seorang sarjana. Mereka dengan wajah berseri penuh harapan tampil berbunga meraih keberhasilan akademik yang bersusah payang ditempuh. Bersusah payah bukan hanya memenuhi kualitas akademik juga pembiayaan yang melibatkan keluarga. Saya berpikir, bahwa acara yudisium adalah pertanda seorang calon sarjana telah mencapai titik puncak keberhasilan ter-penting dalam sejarah hidup akademik yang ditempuh Man jadda wajada, (siapa yang sungguh pasti mendapat) itulah kiranya sebuah motto atau syiar yang perlu dikembangkan. Bahwa sesuatu yang manis biasa digapai melalui jalur yang pahit. Namun dengan bekal ilmu yang telah dimiliki adalah tantangan kehidupan yang lebih besar ketika terjun di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat global yang penuh dengan dinamika kehidupan, dalam posisi ini terpikir oleh saya bahwa seorang sarjana harus berkemampuan merefleksikan ilmu yang dimiliki untuk merespon tantangan kehidupan itu sendiri.
Arus globalisasi yang melanda dunia telah melahirkan dampak negatif yang sangat signifikan, baik dampak politik, ekonomi, budaya, pendidikan maupun religi di setiap individu manusia. Materialisme telah menjadi trademark yang dibawa oleh globalisasi yang pada gilirannya telah merubah pola pikir umat manusia kepada dunia materialistik, sehingga dalam dunia materialistik ini meniscayakan terjadinya sekularisasi dalam kehidupan bahkan meninggalkan agama, seperti yang diungkapkan oleh Karl Marx bahwa agama adalah candu, dan atau Nitze ”Tuhan sudah mati”.
Keadaan seperti ini, sejatinya oleh para sarjana dengan bekal ilmu-ilmu yang dimiliki harus mampu dengan tegas serta bijak untuk memberikan jawaban apa seharusnya yang akan dilakukan. Saya berpikir bahwa proses pendidikan yang telah ditempuh haruslah sebagai instrument utama dalam pembentukan kepribadian yang responsif terhadap tantangan kehidupan. Kita senantiasa dihadapkan oleh keadaan untuk menjawab persiapan kepribadian bagaimana yang dapat dipersiapkan untuk merespon keadaan; yaitu manusia yang mampu establish dalam kehidupan dunia dan akhirat. Kuntowijoyo; dengan pendekatan ilmu sosial profetik menjelaskan bahwa “Humanisasi yang dimaksudkan dalam etika profetik bukanlah humanisme yang berakar pada antroposentrisme renaissance tetapi berakar pada humanisme teosentris, humanisasi ini lahir karena humanisme antroposentrisme justru telah menyebabkan terjadinya dehumanisasi, humanisme dalam etika profetik adalah humanisme yang disemangati oleh nilai – nilai ketuhanan”
Mendasari pemikiran ini, menurut hemat saya, seorang sarjana dalam bidang agama, misalnya, mereka yang menguasai ilmu keushuluddinan, harus mampu mengolah serta mengimplementasikan ilmu menjadi berdaya guna dalam bingkai humanis teosentris dengan suatu bentuk proses memanusiakan manusia dengan disemangati oleh nilai – nilai ke Tuhanan yang bersifat transendental atau imanent, supaya terjadi keseimbangan antara aspek rohani dan aspek jasad. Sebagai sarjana yang berorientasi humanis teosentris haruslah dapat mengetahui tentang hakikat manusia agar dapat mentransfer substansi keilmuan dan tidak terjebak ke ranah wilayah materialisme. Perdebatan tentang konsep kemanusiaan sangat banyak, setidaknya ada bebepa konsep tentang manusia, diantaranya adalah konsep materialisme yang berpendapat bahwa manusia hanya memilki satu unsur yakni jasad, sehingga akal manusia bersifat materi yaitu otak kepala manusia. Dan juga konsep intelektualisme mengakui bahwa manusia memilki dua unsur yaitu jasad dan ruh akan tetapi dalam hal ini ruh diberi pengertian hanya daya berpikir. Adapun dalam pendekatan ilmu keushuluddinan manusia sebagai objek pengemban ilmu serta pengamal ilmu haruslah dilihat dari sisi jasad, ruh, hati nurani yang perlu mendapatkan siraman bersama sehingga terdapat sinergi antara daya pikir dan hati nurani sebagai daya rasa. Sebagai seorang sarjana, berkewajiban memposisikan diri sebagai subyek pengemban amanat ilmu keushuluddinan tidak sebatas menjadi fasilitator tetapi lebih dari itu sebagai motivator yang membawa prubahan signifikan menuju kehidupan global yang berorientasi kepada humanisma teocentris. Oleh karena itu, tantangan humanis teosentris merupakan suatu usaha untuk melakukan misi profetik, sehingga pendalaman ilmu tidak lagi menjadi belenggu bagi pengembannya tetapi haruslah sebagai penggerak memberikan sprit keilmuan yang fundamental di dalam merespon kehidupan manusia modern.
Salah satu problema utama yang dihadapi umat Islam dalam era kehidupan manusia modern adalah kebodohan dan keterbelakangan yang massive di tengah-tengah kehidupan, demikian juga kemiskinan serta kesenjangan sosial, runtuhnya nilai-nilai moral dalam kehidupan, narkoba, prilaku seks bebas, murtad dan sebagainya memerlukan tindakan pencegahan yang bersahaja. Problema ini tidak boleh dibiarkan terus menerus sehingga menghancurkan bangsa dan masa depan kita semua. Situasi ini akan teratasi oleh mereka yang berbekal ilmu untuk menjawab tantangan kehidupan tersebut. Di samping itu gunakanlah almamater sebagai referensi untuk bersama merespon tantangan kehidupan manusia modern dimaksud. Dalam hal ini saya berpikir, bahwa seorang sarjana berkwajiban moral untuk mampu mengekspresikan kebolehannya terutama ketika terjun dalam dunia nyata yaitu lingkungan social. Saya dan semuanya kita, tentu berharap bahwa kehadiran manusia cerdas harus mampu secara cerdas untuk mencerdaskan komunitas dalam berbagai dimensi kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H