[caption id="attachment_269193" align="alignleft" width="274" caption="Lukisan Mahaguru Dharmakirti dari Serlingpa (Sriwijaya) versi Dalai Lama Tibet"][/caption] Di dalam biografi, Acharya (Guru Besar) Dipamkara Shrijnana (dikenal di Indonesia sebagai Pendeta Atisha) menuliskan pengalaman dia berkunjung ke Swarnadwipa (Sriwijaya) guna menimba ilmu kepada Acharya Dharmakirtipada 1013 Masehi. Pada masa itu, Swarnadwipa adalah salah satu pusat pendidikan Buddhadharma terkemuka di dunia. Acharya Dharmakirti di Swarnadwipa dipandang sebagai cendekiawan terbesar pada masa itu.” (Alaka Chattopadhyaya (1999): Atisa and Tibet). Pada 1012, Dipamkara Shrijnana bersama beberapa pedagang, berlayar menggunakan satu kapal besar (dari India) menuju Sriwijaya. Perjalanan melelahkan berlangsung berbulan-bulan. Selama perjalanan para penjelajah dilanda badai besar yang mengerikan. “... Segera setelah menyeberangi lautan luas," tulis Dipamkara, "Saya menuju Caitya (Stupa Keemasan; Golden Reliquary) Sukhagati dan bertemu dengan enam bhikshu meditator, murid dari Guru Swarnadwipa (Dharmakirti). Sebelah utara Caitya tersebut dikelilingi oleh hutan Swarnadwipa, di selatan (ditumbuhi) teratai-teratai indah, hutan bambu lebat di sebelah Barat, dan rawa-rawa di sebelah Timur.” Dipamkara meneruskan, “Di sana kami tinggal bersama mereka selama 14 hari. Kemudian, para bhikshu mendatangi Guru Agung Swarnadwipa dan memohon. Lalu mereka pergi menemui beliau (Dharmakirti). Dari kejauhan kami melihat mereka berdiri dalam satu barisan menyambut kedatangan kami. Jarak antara satu sama lain tidak terlalu dekat tetapi tidak terlalu jauh. Mereka berjalan dalam barisan seperti pelangi warna-warni menuju tempat kediaman Guru Swarnadwipa. Kemudian para penghuni dan pengunjung bersama-sama menuju halaman biara tempat seorang bhikshu sepuh sedang mengajar sekelompok bhikshu. Saya bersujud di kaki beliau (Dharmakirti). Dengan demikian, beliau (guru Swarnadwipa) secara sempurna memberikan ajaran lima belas sesi Abhisamaya-alamkara kepadaku. Setelah itu, saya tinggal di Istana Payung Perak (palace of silver parasols) dan menggunakan waktu untuk belajar, kontemplasi, dan meditasi.” (Thupten Jinpa (2006): Mind Training – The Great Collection). Tempat-tempat yang Dipamkara sebutkan dalam biografinya memiliki banyak sekali kecocokan dengan nama-nama kawasan di Komplek Percandian Muara Jambi. Komunitas biara di lokasi candi terluas di Indonesia itu menjadi tempat ajaran-ajaran diberikan, yaitu di halaman terbuka (court yards) seperti juga sistem yang digunakan di India dan Tibet. Acharya Dipamkara Shrijnana mengatakan bahwa dia tinggal di Istana Payung Perak (Palace of Silver Parasols). Sebutan nama ini sangat mungkin merupakan sebutan ketika itu untuk Bukit Perak (Bukit Sengalo) di Kawasan Percandian Muaro Jambi. Asumsi ini tentu masih membutuhkan penelitian-penelitian lebih lanjut. Ajaran Acharya Dharmakirti yang sampai sekarang masih diajarkan, terutama di Tibet antara lain konsep kosmosentrisme Yamantaka Mandala dan ilmu transformasi pikiran yang disebut lojong. Masyarakat Tibet menyebut orang Sriwijaya dengan sebutan Serlingpa. Mahaguru agama Budha dari Sriwijaya, yaitu Acharya Dharmakirti dan Acharya Dharmaraksita sampai saat ini sangat dihormati di Tibet. Ajaran mahaguru dari Sriwijaya itu sampai saat ini masih diterapkan oleh Dalai Lama. [caption id="attachment_269194" align="aligncenter" width="504" caption="Delapan Lingkaran Dharma Ajaran Dharmakirti"]
Acharya Dipamkara Shrijnana tinggal di Suwarnadwipa sekitar 12 tahun untuk sepenuhnya menguasai ajaran-ajaran murni Buddhadharma. Beliau kembali ke India tahun 1025. Acharya Dipamkara Shrijnana berumur 44 tahun ketika kembali ke India. Beliau tinggal di India sekitar 15 tahun, mengajarkan Dharma, dan memegang berbagai tanggung jawab yang sangat penting di beberapa biara di India sebelum ke Tibet. Sekitar 15 tahun di India, beliau mendedikasikan diri demi penyebaran pengetahuan dan dharma di berbagai pusat pembelajaran seperti Vajrasana, Somapuri, Nalanda, Odantapuri, dan Vikramashila. Penyebarluasan dharma dan ajaran-ajaran dengan dimensi baru membuat beliau dianugerahi gelar “Dharmapala.”
Biara Vikramashila didirikan oleh Raja Dharmapala dari Dinasti Pala pada abad ke-8 Masehi. Sekitar 8.000 murid belajar di Vikramashila di bawah bimbingan para cendekiawan, yang dipimpin (sebagai Kepala Biara) oleh Acharya Dipamkara Shrijnana. Para murid dari berbagai wilayah di India, Cina, Tibet, Ujjaini, Turkestan, dan Nepal datang untuk belajar di Vikramashila. Pada masa ini, Nalanda sedang mengalami kemunduran. Ajaran-ajaran Mahayana dan Tantra yang berasal dari India kemudian tumbuh berkembang di Vikramashila dan menyebar ke berbagai wilayah di Asia. (Disarikan dari Arts of Asia, The Minneapolis Institute of Arts dan berbagai sumber lain)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H