Sejak bergulirnya masa reformasi, dinamika politik mengalami guncangan yang luar biasa. Liberalisasi politik seperti kepakan sayap burung elang yang membelah angkasa, membumbung tinggi lalu menukik menembus jantung politik lokal. Politik yang semula tersentralisasi mengalami proses desentralisasi melalui otonomi daerah.
Zaman telah berubah. Kalimat ini sangat pas untuk menggambarkan keadaan politik kekinian. Zaman membuka ruang yang begitu luas untuk bersemainya bibit-bibit politik unggul. Katup zaman yang selama ini tertutup rapat kini terbuka dengan lebar bagi mereka yang memiliki ide, gagasan, dan totalitas.
Sebuah peluang juga sekaligus tantangan yang mengerikan. Liberalisasi politik meniscayakan setiap kelompok masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi pemimpin politik. Siapa dan dari kalangan mana kerap menjadi hal yang terabaikan – tertutupi oleh kerja-kerja politik apik nan elegan. Pada tahap ini menjadi penting untuk mengingat pendapat Adrian Leftwich, di dalam bukunya What is Politics ? The Activity and Its Study, menjelaskan bahwa politik adalah jantung dari semua kegiatan sosial kolektif, formal mau pun informal, publik dan privat, di dalam semua kelompok-kelompok manusia, lembaga-lembaga dan masyarakat, dari mulai interaksi sosial keluarga sampai interaksi di dalam bangsa dan mau pun lintas bangsa. Yang membedakannya dari interaksi sosial biasa adalah bahwa politik melahirkan kekuasaan yang memperhatikan penciptaan, pendistribusian dan penggunaan sumber-sumber keberadaan sosial manusia. Dengan demikian, politik memunculkan dimensi kekuasaan pengambilan keputusan, kekuasaan atas agenda setting dan kekuasaan atas kontrol pemikiran.
Leftwich, sesungguhnya ingin mengingatkan kepada kita semua bahwa cakupan politik itu demikian luas. Jika salah arah, politik akan melahirkan petaka yang tak terkira. Negara gagal, atau demokrasi beku seperti yang dikatakan Georg Sorenzen, menjadi bayang-bayang menakutkan yang terus mengintai perjalanan bangsa maupun daerah.
Pada tataran ini, penting-khususnya para pemuda-untuk sepakat membangun sebuah consensus social untuk mendorong kelompok-kelompok masyarakat, terkhusus kepada para pemuda yang memiliki ide, gagasan, semangat, dan integritas, untuk berani tampil di panggung kontestasi politik. Ini penting dilakukan sebagai langkah preventif untuk menghindari kelompok-kelompok yang tidak memiliki kapasitas, kapabilitas, dan integritas untuk duduk di tampuk kekuasaan.
Adnan Purichta di Gowa dan Tomy Satria Yulianto di Bulukumba, telah mulai berjalan dan membuka jalan. Mereka berdua sesungguhnya ingin mengatakan bahwa jalan itu ada dan bisa terbuka bagi mereka yang mau total.
Pemuda Mizar Roem juga sesungguhnya telah menunjukkan bagaimana seharusnya pemuda tanggap terhadap dinamika politik. Ia sejak awal telah mendorong dan menyemangati pemuda-pemuda keren yang terjun dalam kontestasi pilkada. Jarak bahkan tidak jadi penghalang baginya untuk mengapresiasi dan menyelamati pemuda Adnan dan Pemuda Tomy ketika akhirnya mereka berdua menerima mandate masyarakat. Di Kaki Gunung Fujiama, Jepang, Pemuda Mizar, mengucapkan selamat kepada Adnan dan Tomy yang sukses memenangkan Pilkada.
Zaman masih terus membuka diri. Adnan dan Tomy saja belum cukup. Zaman masih butuh lebih banyak pemuda. Dan akhirnya saya harus katakan bahwa tidak ada gagasan yang paling menarik untuk dibincang hari ini selain, Mizar Roem adalah pemuda berikutnya yang akan menyusul Adnan dan Tomy. Ini bukan kehendakku, tapi zamanlah yang memaksa. Maka bersiaplah Ketua!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H