oleh Syamsul Maarif, SS
Salah satu wacana yang berkembang pada saat pencalonan presiden dan wakil presiden RI, salah satunya menyoal tentang sistem ekonomi. ada yang menyeru ekonomi liberal dan ada pula yang mengaku ekonomi kerakyatan. bahkan ada pula yang bersuara: "mau liberal kek, mau kerakyatan kek, ga penting, yang jelas kami butuh sejahtera".
mencermati fenomena diatas rupanya ada hal yang sepatutnya kita wacanakan khususnya tentang pemahaman terhadap sistem ekonomi yang ada dan berkembang hingga saat ini. dan Agar tidak terjebak pada perdebatan yang ompong maka mari kita kaji kembali perdebatan sistem ekonomi dikancah para tokoh pemikir yang konsisten memikirkan sistem ekonomi.
Para pemikir yang dimaksud adalah Adam Simith, Karl Mark dan Antony Gidden. kenapa tiga orang itu? karena bagi saya tiga pemikir tersebut sudah mewakili berbagai pandangan sistem ekonomi yang berkembang hingga saat ini.
Smith berpendapat bahwa produksi dan perdagangan, sebagai kunci menuju kemakmuran, agar maksimal dan menghasilkan kekayaan universal, Smith menganjurkan pemerintah memberikan kebebasan ekonomi kepada rakyat dalam bingkai perdagangan bebas baik dalam ruang lingkup domestik maupun internasional.[2] Dalam bukunya The Wealth of Nations, Smith mendukung prinsip "kebebasan alamiah", yakni setiap manusia memiliki kebebasan untuk melakukan apa yang diinginkannya tanpa campur tangan pemerintah. Ini mengandung pengertian negara tidak boleh campur tangan dalam perpindahan dan perputaran aliran modal, uang, barang, dan tenaga kerja.
Smith juga memandang pembatasan kebebasan ekonomi oleh pemerintah sebagai pelanggaran hak asasi manusia.[3] Alasan utama Smith yang melarang intervensi pemerintah adalah doktrin invisible hands (tangan gaib). Menurut doktrin ini, kebebasan (freedom), kepentingan diri sendiri (self-interest), dan persaingan (competition) akan menghasilkan masyarakat yang stabil dan makmur. Upaya individu untuk merealisasikan kepentingan dirinya sendiri bersama jutaan individu lainnya akan dibimbing oleh "tangan tak terlihat". Setiap upaya individu mengejar kepentingannya, maka secara sadar atau pun tidak indvidu tersebut juga mempromosikan kepentingan publik.[4] Dengan kata lain, Smith mengklaim dalam sebuah perekonomian tanpa campur tangan pemerintah (laissez faire) yang mengedepankan nilai-nilai kebebasan (liberalisme), maka perekonomian secara otomatis mengatur dirinya untuk mencapai kemakmuran dan keseimbangan.
Catatan penting juga, yang nantinya menguhubungkan dengan pemikiran Karl Mark, bahwa Smith juga menilai bahwa manusia merupakan binatang yang tidak pernah puas dengan kebutuhannya (disatisfaction animal), dan perilaku ini baginya akan menjadikan manusia selalu mencari keuntungan, baik ia sebagai produsen, pun konsumen.
produsen berusaha mencari keuntungan dengan 1) menaikkan harga, 2) menekan biaya produksi serendah-rendahnya. sedang konsumen akan mencari keuntungan dengan membeli barang yang berkwalitas bagus, akan tetapi harganya murah (baca: terjangkau).
bagi Smith kondisi ini mempunyai konsekuensi apabila barang yang tidak berkwalitas atau mahal akan dengan sendirinya tidak dibeli oleh konsumen, dan lambat laun produsen yang menjual barang mahal tidak berkwalitas akan kolaps. karenanya urusan ekonomi diserahkan pada homo-ekonomikus dan pemerintah tidak perlu mengintervensinya. karena produsen juga akan berlomba-lomba membuat barang yang berkwalitas dengan harga terjangkau, (konsumen bisa membelinya).
Dalam kontek ini Marks menangkap sinyal ada orang yang paling dirugikan ketika produsen berusaha mencari keuntungan. pertanyaanya; bagaiaman produsen mencari keuntungan? kalau menaikkan harga kemudian mereka terancam oleh konsumen yang tidak mau membeli barang produksinya, maka alternatif kedua untuk meraih keuntungan tentunya dengan menekan biaya produski serendah-rendahnya.
Biaya yang mana? apakah mereka akan mengurangi bahan, jelas ini juga jadi ancaman karena konsumen memilih barang yang berkwalitas. maka orang yang paling dirugikan tidak lain dan tidak bukan adalah BURUH.