Mohon tunggu...
Syamsul Bakri
Syamsul Bakri Mohon Tunggu... -

Syamsul Bakri is a lecturer in IAIN Surakarta, directur of Lakpesdam-NU Klaten, and founder of Pesantren Darul Afkar Institute Tegalrejo Ceper Klaten

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pasang Surut Persekutuan NU dengan PKB

20 Februari 2014   19:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:38 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang didirikan oleh Gus Dur dan para kyai NU pada tahun 1998, merupakan babak sejarah baru bagi nahdliyyin dalam perhelatan politik praktis. Setelah fusi dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tahun 1971, gaerah politik warga NU melemah, salah satunya akibat perseteruan NU dan Muslimin Indonesia di tubuh partai yang sekarang berlambang Ka'bah tersebut.

Reformasi 1998, menggugah kembali gaerah politik para petinggi NU, sehingga melahirkan PKB. Walaupun tidak semua elit NU berpihak di PKB, namun PKB yang dipimpin oleh Abdurrahman Wahid sebagai Ketua Dewan Syuro, mampu mengumpulkan suara NU untuk politik kekuasaan.

Perseteruan dan konflik internal di PKB yang terjadi beberapa kali, yakni Gus Dur versus Mathorti Abd Jalilk, Gus Dur versus Alwi Syihab, cukup menjadi duri dalam perjalanan PKB. Namun Gus Dur sebagai simbol kekuatan kharismatik di NU dan PKB dapat memenangkan konflik. Pada era kepemimpinan Gus Dur, dukungan NU kepada PKB dapat dibilang solid. Secara empirik, NU mem-back-up dan mendukung anaknya (PKB) agar memenangkan perhelatan politik.

Masa-masa gemilang tersebut kemudian runtuh sejak konflik internal tahap-3, yakni antara Gus Dur dengan Muhaimin Iskandar. Gus Dur pun tersingkir dari arena pertandingan. Hal ini juga bukan kemenangan bagi Muhaimin, PKB suaranay merosot tajam.

Menjelang Pemilu 2014, suasana menjadi semakin runyam sejak keluarga Gus Dur dan Gusdurian menunjukkan sikap "menentang" gerak politik PKB. PKB sendiri sadar bahwa di dalam dirinya miskin tokoh dan simbol, sehingga tak heran jika di baliho dan alat peraga kampanye lain, para caleg membawa-bawa gambar Gus Dur dan simbol NU. Hal ini justru menjadi bumerang karena nahdliyyin di luar PKB mempersoalkan simbol NU dan gambar Gus Dur yang dijadikan alat jualan politik PKB. Tudingan bahwa PKB sebagai "anak" NU belum dewasa dan masih menyusu pada ibunya puna terlontar.

Pada posisi keterjepitan, PKB melalui ketuanya, Muhaimin Iskandar, sengaja menggandeng KH. Said Aqielk Siradj, dan keduanyapun berhubungan dekat. Persoalannya, apakah Kang Said punya kharisma seperti Gus Dur, apakah situasi dan kondisi era Gus Dur sama dengan situasi dan kondisi sekarang?. Jangan-jangan ulah Kang Said hanya akan menjadi bumerang bagi dirinya selaku Ketum PBNU. Arus Gusdurian yang sedang anti PKB bisa jadi tidak dipahami baik oleh Kang Said, sehingga ia terlalu percaya diri menjalin kedekatan khusus (intim) dengan PKB. Kita tunggu saja, apakah strategi Cak Imin bersama Kang Said ini manjur, atau menjadi bumerang bagi keduanya. Apakah hubungan politik yang intim tersebut berada pada situasi dan zaman yang tepat, atau....................???

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun