Persaingan politik dalam mata rantai Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2014 adalah pertarungan politik paling speaktakuler sejak republik ini berdiri. Pertarungan dua kandidat presiden yang membawa gerbong tim sukses dan para simpatisannya, mengarah ke bentuk-bentuk kampanye hitam (black campaign), kampanye paling tidak “Indonesiawi" sejak republik ini berdiri.Ada fitnah, fanatisme, mitos, isu darah biru, SARA, HAM, hingga hutang. Wacana perpolitikan sudah tidak perawan lagi. Pertarungan ini mirip pertarungan dalam sejarah kekuasaan di Jawa, yakni era perebutan kekuasaan Pajang. Jaka Tingkir dan ARya Penangsang merupakan dua candidat yang sama-sama kuat, di belakangnya didukung sejumnlah ulama besar dan kaum aristokrat. Mirip apa yang terjadi saat ini.
Nuansa pembelaan calon idaman, dan perlawanan terhadap calon lain, dilakukan dengan pengkultusan dan pencitraan yang berlebihan, Hal ini menjadi indikasi nyata betapa pembusukan pemikiran politik tengah terjadi di masyarakat. Istilah satrio piningit (mirip al-Mahdi, Messias, Ratu Adil), keturunan Raja, pahlawan, bahkan sampai disebut-sebut darah biru keturunan Nabi Muhammad, semakin mencitrakan branding dan imaging politik yangtidak wajar, dan mengikis rasionalitas politik yang dibangun kaum reformis. Mitos-mitos tersebut menjadi bumbu manis yang justru semakin menciptakan perasaan fanatisme in group para pendukung caprers-cawapres, dan pada saat yang sama semakin menjauhkan dengan grup politik yang berada pada kutub yang berlawanan (polaritatif)
Persaingan politik vis a vis ini terjadi karena tidak ada lagi tokoh politik yang memiliki pengaruh dominan, dan munculnya dua tokoh baru yang memiliki posisi yang sama sehingga mengarah ke suasana perang tanding. Dalam perang tanding, segala kekuatan akan dikerahkan untuk mengungguli rival kontestasi politiknya. Hanya ada dua kutub, kutub politik Prabawa-Hatta (nomor urut 1) dan kutub politik Jokowi-Jusuf Kalla (nomor urut 2). Tidak adanya calon ketiga menyebabkan perbhedaan kedua kutub semakin ekstrim, semakin polaritatif, dan menjadi blok social-politik yang cukup mengkhawatirkan. Apalagi, para juru bicara dan tim sukses kedua pasangan capres-cawapres sering melontarkan kata-kata “bengis” di media massa, baik cetak, elektronik, maupun media on line.
Fenomena ini dapat menjadi “candu” bagi masyarakat sehingga mereka yang awalnya masuk kategori simpasisan moderat, bias berubah menjadi simpatisan radikal. Perang wacana pun sudah menjalar di massa akar rumput, di pasar-pasar tradisional, pos-pos kamling, media-media social tradisional (majlis ta’lim, PKK, paguyuban RT).
Saling Tuding
Prabawa banyak dipersoalkan masa lalunya, sedangkan Jokowi byk dipertanyakan masa depannya.Adapun pendukung fanatik keduanya tidak mengetahui dan tidak peduli apa artinya masa lalu dan masa depan. Hanya sedikit simpatisan rasional. Mayoritas masyarakat sudah terjangkit wabah fanatisme politik. Pasangan Jokowi-Jk dan Prabawa-Hatta itu sdh spt agama, yakni dipuja setinggi langit bagai malaikat penolong, dan dibela mati-matian. Saat ini, kedua pseudo agama tsb sdh memunculkan fanatisme, serta berpotensi melahirkan radikalisme politik. Keduanya potensial menjadi candu bagi masyarakat yang bias merusak struktur pemikiran masyarakat.
Bahkan, banyak kalangan akademisi yang mestinya berfikir tengah dan kritis, juga banyak yang terjebak dalam framing (pembingkaian) opini oleh media. Media pun sudah banyak yang tidak netral, dan menjadi corong capres-cawapres tertentu. Mayoritas masyarakat sudah menceburkan diri dalam pemanasan perang politik, hengkang dari posisinya sebagai sekedar simpatisan moderat. Hanya anak-anak Balita dan siswa PAUD saja yang masih menjaga diri untuk tidak larut dalam ajang dukung-mendukung, kutuk-mengutuk, fitnah-menfitnah, dan saling-lempar isu.
Tergerusnya sikap santun terhadap lawan politik sedang diajarkan oleh para politisi. Lawan politik sebagai kompetitor pun ditempatkan pada posisi musuh politik sehingga wacana, isu, dan tuduhan-tuduhan yang dilontarkan sudah minim rasa kesopanan.Masyarakat serasa hidup di dunia politik Negara-negara Barat, bahkan lebih Barat dan lebih liberal dari negara-negara Barat.
Agama pun menjadi barang dagangan dan alat pecitraan, untuk tidak mengatakan kedua kubu bersandiwara di depan Tuhan. Pencitraan tentang kesalehan religius kedua pasangan capres-cawapres di back-up oleh media simpatisan, bahkan dibumbui dengan berita bohong. Bisa jadi isu-isu religiusitas ini menarik dan menjadi magnet politik di dunia masyarakat awam, tetapi memalukan bagi kaum melek huruf, apalagi Tuhan yang disebut-sebut itu tidak dihadirkan dalam perilaku politik mereka.
Suasana “perang tanding” dalam menghadapi Pilpres 2014 ini mestinya mendapat perhatian serius oleh Komisi pemilihan Umum (KPU), Badan pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), pemerintah, tokoh agama, dan tokoh masyarakat, agar ekses negative bisa ditekan. Jangan sampai demokrasi melukai harmoni social. Persoalannya adalah, banyak tokoh agama dan tokoh masyarakat sudah terkotak-kotak dalam bingkai simpatisan, sehingga sulit mencari sosok yang fatwa social politiknya dapat memproduk suasana cooling down di masyarakat. Ormas kegamaan besar pun, kendati secara formal menegaskan dirinya netral, tetapi permainan yang dilakukan oleh para elitnya menjadi kontribusi tersendiri dalam member suasana panas dalam iklim poilitik tanah air.
Akhir dari cerita perang tanding tentu membawa dampak psikologis yang histeris, baik pemenang maupun pihak yang kalah. Untuk itu maka para elit politik perlu memebrikan pencerahan kepada para simpatisan dan konstituennya agar menyiapkan diri untuk menerima kekalahan, dan bahwa harmoni social harus diletakkan di atas kepentingan politik kekuasaan.
Wacana saling serang yang dilakukan kedua kubu, tidak jarang menjurus pada fitnah. Kedua kubu mencari-cari kesalahan capres saingan untuk dipublikasikan agar tidak dipilih rakyat. Jika masa lalu kelam tidak diketemukan, maka dilakukan reproduksi sejarah, cerita dan kesaksian palsu. Fitnah politikpun menjadi pertunjukan politik harian. Akan tetapi, fitnah politik akan segera berakhir, kedua belah pihak sudah kehabisan teman sbg bahan baku untuk menfitnah. Fitnah-fitnah yang akan datang bukan lagi menakutkan, tetapi membosankan, dan pada tahap lanjut, menjadi kontra-produktif.
Deklarasi dan Klaim
Di tengah iklim politik yang semakin memanas menjelas pilpres 9 Juli 2014, ada fenomena baru yang mewarnai perang tanding. Fenomena politik tersebut adalah munculnya para even organizer (EO) spesialis deklarasi. Dalam perang tanding, yakni perang mendada, kekuatan yang satu akan diimbangi dengan kekuatan yang lain (jawa; umuk-umukan). Ketika sekelompok masyarakat digiring untuk deklarasi calon tertentu, maka muncul deklarasi antitesa yang diusung oleh kelompok yang berlawanan.
Para EO bergerak sesuai kebutuhan, selanjutnya bergerak berdasarkan aksi-reaksi. Semua dilakukan untuk pencitraan dan main klaim. Perebutan symbol dan identitas dukungan untuk pasangan capres-cawapres telah melahirkan perilaku politik baru bagi para EO sehingga lahirlah para EO deklarasi. Mereka bias jadi simpatisan murni dari pasangan capres-cawapres, tetapi bias juga dari kalangan petualangan politik dan para penumpang yang ingin mengambil kesempatan dari hiruk pikuk politik menjelang Pilpres.
EO-EO ini menjadi bara yang menghangatkan, untuk tidak mengatakan memanaskan suasana politik. Hampir setiap hari, sebagaimana laporan berbagai media, terjadi deklarasi-deklarasi. Deklarasi salah satu pasangan akan menjadi terror psikis bagi pasangan yang lain. Aksi ini akan memunculkan reaksi. Begitu seterusnya sampai klimaknya nanti tanggal 9 Juli 2014. Mudah-mudahan suasananya hanya hangat-hangat tahi ayam, dan akan kembali ke suasana normal.
Indonesia Baru
Siapapun pasangan yang terpilih, tentu harus membawa perubahan nyata bagi Indonesia baru. Ongkos politik dalam pilpres ini sangat mahal, dan potensial dapat merusak harmoni social di masyarakat. Munculnya blok Prabowo-Hata dan Jokowi-JK di masyarakat akar rumput perlu diantisipasi oleh para politisi di tingkat atas, sehingga perang dingin tersebut akan selesai pada 9 Juli nanti. Tentu hal ini harus diimbangi dengan kinerja pemerintah sehingga apa yang dikampanyekan bukan sekedar slogan melangit, tetapi benar-benar dibumikan untuk transformasi masyarakat. Kedewaan berpolitik segenap anak bangsa akan diuji.
Ujian itu bukan saja terlketak pada kemenangan atau kekalahan pada 9 Juli nanti, tetapi juga bagaimana sekat-sekat politik di masyarakat untuk dapat dirobohkan sehingga dapat menciptakan harmoni social kembali. Kepentingan sesaat tentu tidak boleh diletakkan di atas kepentingan yang lebih abadi. Kepentingan suksesi 9 Juli tentu harus di bawah kepentingan bangsa yang lebih luas, yakni kebersamaan, persatuan, dan semangat saling menghargai di antara anak bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H