Saya lebih sering ke kampung Nelayan Untia ketika kampung tersebut menjadi salah satu lokasi program pemberdayaan masyarakat pesisir pada tahun 2014-2017.
Namun setelah program tersebut berakhir intensitas kunjungan pun berkurang. Saya lebih sering ke kampung sebelahnya yang juga menjadi lokasi program yang sama yakni kampung Lantebung, Kelurahan Bira, Kota Makassar. Lokasi program yang menonjol pada kelompok pengelola sumberdaya alam dengan wisata tracking mangrovenya.
Tujuannya pun bermacam-macam, baik urusan kantor seperti mendampingi konsultan perencana pengembangan tracking mangrove, kegiatan monitoring dan evaluasi, pelatihan yang dilaksanakan di pondok informasi, atau membawa keluarga berwisata sekaligus memperkenalkan mangrove sejak dini kepada anak.
Pernah juga beberapa kali ke kampung ini, namun tidak sempat singgah di perkampungan untuk berinteraksi dengan warga. Tapi untuk tujuan lainnya seperti ikut serta dalam penanaman mangrove atau keperluan lainnya di Kantor Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Untia yang tidak jauh dari perkampungan.
Namun hari ini saya bisa berinteraksi dengan beberapa warga dan mengeksplore beberapa sudut Untia yang nampak mengalami perubahan secara drastis. Perubahan secara fisik yang terjadi setelah proyek penataan kampung nelayan tuntas dikerjakan. Proyek yang anggarannya bersumber dari KemenPUPR dan APBD Kota Makassar.
Ada banyak pembenahan yang dilakukan selain normalisasi kanal yang ada dalam perkampungan. Kanal yang di awal perkampungan ini di tinggali oleh warga diperuntukkan sebagai jalur kapal nelayan dari warga yang merupakan pindahan dari pulau Lae-Lae. Warga yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan.
Salah seorang tokoh masyarakat di Kampung Nelayan Untia menceritakan terkait kemajuan pesat kampungnya yang disebutnya sebagai kemajuan fisik yang tidak dibarengi oleh kemajuan non fisik lainnya. Menurutnya ada permasalahan klasik yang sudah mereka rasakan berpuluh-puluh tahun namun tidak dapat dituntaskan oleh pemerintah seperti ketersediaan air bersih dan kejelasan status tanah yang mereka tinggali selama ini.
Pada beberapa pertemuan, dua keluhan ini merupakan persoalan berulang yang selalu disampaikan ketika sesi diskusi. Terutama pada saat Musrembang tingkat kelurahan. Yang terakhir ketika Gubernur Sul-Sel, Nurdin Abdullah berkunjung, permasalahan ini juga yang diangkat oleh warga selain bantuan kapal dan alat pengolahan dari ibu-ibu rumah tangga.
Ada 326 rumah di Untia yang disediakan oleh pemerintah pada saat relokasi warga dari Pulau Lae-Lae. Namun tidak semua rumah tersebut dihuni oleh warga yang direlokasi karena sebagian warga saat itu ngotot dan memilih untuk tetap bertahan.
Sebagaian rumah lainnya pun dihuni oleh warga dari luar Lae-Lae seperti yang diceritakan pak Buhari salah seorang tokoh masyarakat Untia. Menurutnya, ini menjadi salah satu persoalan sehingga terkendala dalam penerbitan sertifikat.
Ia sangat mengapresiasi apa yang pemerintah telah lakukan di kampungnya, terutama normalisasi kanal yang dilengkapi beberapa fasilitas lainnya. Termasuk juga program-program pemberdayaan masyarakat yang tidak hanya fokus pada pembinaan tapi juga membangun infrastruktur.