DIGITAL ENTREPRENEUR BAGIAN DARI ISLAM
Oleh: Dr. Syamsul Arifin, M.A
Dosen Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan Uin Mataram
Terasa ganjil dan aneh jika dikatakan bahwa Digital Entrepreneur bagian dari Islam. Bagaimana mungkin Islam sebagai agama wahyu yang hanya memuat nilai-nilai ideal, absolut dan imanen menempatkan Digital Entrepreneur – varian bisnis terbaru sebagai dampak dari teknologi informasi dan hanya bergulat dengan dunia materi yang profan – dapat menjadi bagian darinya. Bukankah Digital Entrepreneur tidak lebih dari sebagai budaya manusia yang didorong oleh semangat survive dan hasrat duniawi, di samping dalam banyak kasus praktik bisnis online ini justru bertentangan dengan nilai-nilai ideal tersebut, lebih-lebih praktik digital market ini hasil desain kapitalisme radikal yang penuh dengan ‘jebakan Batman’.
Sebagai agama wahyu, Islam bersifat apresiatif, responsif, kritik, dialogis, dan dialektis pada dan dengan kehidupan manusia berikut dengan varian budayanya. Dengan semua sifatnya itu, secara substantif memungkinkan bagi Islam menerima berbagai budaya manusia, termasuk Digital Entreprener sebagai bagaian darinya.
Sekurang-kurangnya ada tiga aspek utama yang dapat mengurai begitu dekatnya Digital Entrepreneur – sebagai model aktual bisnis terkini -- dengan Islam, yaitu historis, teologis-normatif, dan sosiologis
Dari aspek historis dapat diketahui beberapa banyak generasi Islam awal menempatkan bisnis sebagai bagian dari kesibukan hidupnya. Rasulullah sendiri sebagai figur sentral dalam Islam sangat dikenal sebagai pelaku bisnis. Beberapa sahabat dekat Rasul, seperti Siti Khadijah, Abu Bakar al-Shiddiq, dan Muawiyah bin Sufyan, termasuk pelaku bisnis papan atas tanah Arab saat itu.
Keberadaan generasi Islam awal sebagai pelaku bisnis tidak dapat dipisahkan dari status kota Makkah sebagai kota metropolis dan pusat kegiatan bisnis terbesar di daratan Arab sejak abad ke-5 M. Artinya, kondisi sosial-ekonomi Makkah-lah yang ’mendidik’ mereka menjadi pedagang.
Makkah menjadi centra bisnis bangsa Arab karena didukung oleh empat faktor;(1) secara geografis, Makkah menjadi jalur lalu lintas para pedagang dari Yaman menuju Palestina dan Syiria atau sebaliknya, (2) adanya sumur zam-zam, sumber air terbesar se-dunia, menarik para pedagang dari berbagai penjuru Arab untuk tinggal di Makkah, (3) kaum Makkah, khususnya suku Quraisy, suku utama Makkah, terkenal ramah, jujur, dan pemberani sehingga banyak suku Arab lainnya mau menjalin hubungan bisnis dengan mereka, (4) Makkah dinilai sebagai daerah paling aman di dataran Arab setelah raja Abrahah, penguasa dari Yaman sekaligus tokoh paling kuat di Arab ketika itu tewas beserta pasukannya saat mau menghancurkan Ka’bah. Hal ini mendorong suku-suku Arab berani investasi di Makkah.
Sekedar untuk diketahui, sebelum abad ke-5, penduduk Makkah, termasuk suku Quraisy lebih banyak berternak daripada berdagang. Hidup mereka nomaden dan keras. Konflik dan pertikaian antarsuku tak terelakkan akibat peberebutan padang rumput untuk ternak mereka di lahan yang gersang dan tandus. Inilah yang menyebabkan mereka biadab di samping karena ajaran agama pagannya. Namun, seiring dengan berubahnya mata pencaharian mereka dari ternak ke dagang, kehidupan mereka semakin beradab.
Di masa Rasulullah (abad ke-6), Makkah betul-betul sudah menjadi kota dagang. Begitu menghegemoninya bisnis di Makkah, sampai-sampai ada beberapa wahyu yang diterima oleh Nabi menggunakan analog bisnis. Misalnya, Al-Qur’an sebanyak 25 kali menggunakan kata ’isytira’’ (membeli) suatu istilah yang biasa digunakan dalam kegiatan transaksi jual-beli, seperti bunyi ayat ”Wa la tasytarî bi ayâtin tsamanan qalîlân”. Di samping itu, Al-Qur’an juga menggunakan kata ’tijârah’ seperti bunyi ayat di atas.