Mohon tunggu...
Syamsul Ardiansyah
Syamsul Ardiansyah Mohon Tunggu... Relawan - Manusia Biasa dan Relawan Aksi Kemanusiaan

blog ini akan bicara tentang masalah sehari-hari. follow me in twitter @syamsuladzic\r\n\r\nPengelola http://putarbumi.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik AS di Balik Sikap Moderat Militer Mesir

2 Februari 2011   15:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:57 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_88664" align="aligncenter" width="300" caption="Militer membantu Demonstran?"][/caption] Amerika Serikat akan tetap bisa mengelola kepentingannya di Mesir, meski saat ini, hubungan Obama dengan Presiden Hosni Mobarak sedang berada level yang paling rendah. Pada Selasa, 1 Februari 2011 lalu, Presiden Barrack Obama mengeluarkan pernyataan yang secara implisit memberi angin pada gerakan penggulingan Hosni Mobarak. Obama mengatakan,

“to the people of Egypt, particularly the young people of Egypt, I want to be clear: We hear your voices. I have an unyielding belief that you will determine your own destiny and seize the promise of a better future for your children and your grandchildren.”(simak pidato lengkap Obama tentang Perkembangan Politik Mesir disini)

Apa yang dikemukakan Obama merupakan kelanjutan dari pernyataan Menlu AS Hillary Clinton yang sebelumnya meminta agar Mesir tidak menggunakan kekuatan bersenjatanya untuk menghadapi gelombang protes yang menuntut penggulingan Mobarak. Seruan Menlu Clinton itu secara langsung disambut para petinggi militer Mesir yang menyatakan berada dalam posisi netral sehingga ruang politik bagi para demonstran semakin lebar. Sikap pemerintahan Obama ini memang tergolong mengejutkan. Selama ini, selama kurang lebih 30 tahun, Mobarak merupakan elemen di Timur Tengah yang paling loyal terhadap segala kepentingan AS. Bahkan, Israel sebagai sekutu terdekat AS pun sepertinya cukup terkejut atas sikap Obama. Selain mengkritik perubahan sikap AS yang dipandang tiba-tiba, Israel pun memobilisasi tentaranya ke wilayah perbatasan dengan Mesir untuk berjaga-jaga atas segala kemungkinan yang dikhawatirkan bisa terjadi akibat pergolakan politik di Mesir. Kuncinya pada Militer Sikap AS terhadap pergolakan politik di Mesir saat ini sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Selama ini, Hosni Mobarak pemimpin Timur Tengah yang menjadi sekutu terdekat AS selain Israel dan Arab Saudi. Namun di mata AS, Mobarak tidak lebih dari sekadar “boneka” yang bisa dibuang begitu saja ketika sudah tidak bisa lagi digunakan. Kunci hubungan AS dengan Mesir sebenarnya tidak terletak pada sosok Hosni Mobarak, melainkan pada jaringan petinggi militer Mesir yang berada di bawah pengaruh AS. Bukan rahasia lagi, Mesir adalah negara penerima bantuan militer kedua terbesar dari Amerika Serikat setelah Israel. Nilai bantuan militer AS ke Mesir tiap tahun rata-rata sebesar US$ 1.3-2 miliar. Jika melihat grafik di bawah ini, nilai bantuan AS ke Mesir cenderung tetap sementara bantuan non-militer cenderung fluktuatif. Artinya, perhatian AS lebih tertuju pada upaya menjaga stabilitas hubungan militer ketimbang hubungan-hubungan lainnya. [caption id="attachment_88655" align="alignnone" width="308" caption="Grafik bantuan luar negeri AS ke Mesir"]

1296656759472647733
1296656759472647733
[/caption] Terlebih, sebagaimana diberitakan oleh situs berita NPR, minggu lalu salah-seorang petinggi militer Mesir, Letnan Jenderal Sami Enan justru berada di Washington dalam rangka kunjungan kerja singkat ke Pentagon.Sebagaimana dijelaskan Petinggi Militer AS, Admiral Mike Mullen, Letnan Jenderal Sami Enan telah menyatakan komitmennya untuk menjaga hubungan kerjasama militer antara AS dengan Mesir. Berikut ini link berita dari tentang kunjungan petinggi militer Mesir ke AS dari situs CNN. Memastikan Suksesi kepada Oposisi Pekerjaan rumah yang harus dilakukan AS saat ini adalah memastikan kelompok oposisi Mesir bisa bersikap lebih kooperatif terhadap kepentingan-kepentingan AS di negara tersebut. Langkah ini coba ditempuh dengan menjaga komunikasi politik dengan Mohamed ElBaradei, salah-satu tokoh kunci gerakan oposisi. ElBaradei sendiri bukanlah orang yang bisa selamanya "jinak" pada kepentingan AS. Pada saat menjabat Kepala Badan Nuklir Internasional, ElBaradei pernah menolak permintaan George W. Bush untuk membenarkan keberadaan instalasi nuklir Irak. Sebelumnya, ElBaradei memberikan warning kepada AS untuk menghentikan dukungannya terhadap Mobarak. Sejauh ini, warning ElBaradei didengar oleh Obama yang secara langsung meminta Mobarak untuk segera melakukan transisi politik. Sejauh ini, ElBaradei memang dikenal cukup dekat dengan Presiden Obama. ElBaradei dikatakan sebagai orang yang paling pertamakali bertepuk-tangan pada saat Obama dinobatkan meraih hadiah Nobel. Bisa jadi, kedekatan ElBaradei dengan Obama bisa menjadi modal untuk melanjutkan kerjasama diantara kedua negara. Aliansi Israel dengan Mobarak Ikhtiar Obama di Mesir saat ini memang tidak sepenuhnya didukung oleh mitra-mitra politik AS. Israel misalnya, mengkritik kedekatan Obama dengan ElBaradei. Hal lain yang paling dikhawatirkan Israel adalah kedekatan ElBaradei dengan Ikhwanul Muslimin yang saat ini bersama-sama terlibat dalam gerakan penggulingan Mobarak. Tidak hanya itu, kalangan konservatif Israel juga menuding ElBaradei dituding memiliki kedekatan dengan Presiden Ahmadinejad dari Iran. Pihak lain yang sudah pasti tidak senang dengan perkembangan sekarang adalah Presiden Hosni Mobarak. Mobarak sudah pasti akan merasa ditinggalkan oleh AS. Ibarat istilah, habis manis sepah dibuang. Nasib Mobarak sebagai rejim boneka AS memang berada di ujung tanduk. Bukan tidak mungkin, kesamaan pandangan antara Israel dengan Mobarak inilah yang berada dibalik mobilisasi ribuan masa pro-Mobarak yang dikerahkan untuk melawan massa demonstran anti-Mobarak yang saat ini mengepung ibukota. Sepintas, operasi pengerahan massa pro-Mobarak mirip dengan pengerahan Pamswakarsa yang dikerahkan untuk membubarkan gerakan anti-Soeharto di Jakarta 1998 lalu. Namun jika menyimak pengalaman Jakarta 1998, pengerahan massa untuk melawan gerakan penggulingan justru akan hanya berujung pada percepatan proses jatuhnya rejim yang berkuasa. Untuk itu, AS bisa sedikit bernafas lega. Namun mungkin, tidak demikian bagi rakyat Mesir yang selama ini mendambakan keadilan dan kesejahteraan. simak pula esay saya sebelumnya "Mobarak (2011) dan Soeharto (1998)"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun