Kali Babarsari membelah daerah Maguwoharjo. Berbeda dengan sungai-sungai lainnya yang pernah saya lihat di Jogja, air sungai ini masih terbilang jernih. Aliran sungainya pun tak begitu deras sehingga sangat cocok dijadikan tempat “bermain air”. Di atasnya, Jembatan Babarsari menjadi penyambung dua daerah yang terpisah. Di Jembatan ini seringkali kita temukan anak anak Mapala dari Universitas di Jogja yang berkumpul sambil berlatih Single Rope Technique (SRT).
Bagi saya, salah satu cara menikmati kesederhanaan Jogja adalah mandi di kali ini. Tak perlulah ke kolam renang yang berbayar jika hanya ingin sekedar bermain air. Di kali ini pun bisa kok. Apalagi suasananya yang begitu menyatu dengan alam. Kebiasaan mandi di kali inilah yang kemudian mengantarkan saya bertemu dengan seorang bapak yang namanya sendiri saya lupa. Seorang bapak yang bolehlah saya sebut kalau suaranya bisa mewakili suara rakyat lainnya.
Saat itu, Suatu pagi sepulang dari gym, bersama dengan teman teman, saya memutuskan untuk kembali menceburkan diri di kali. Seraya menuruni jalan yang sedikit agak curam, saya merasa kalau sesungguhnya apa yang saya lakukan agak aneh. Mandi di kali mengingatkan masa ketika saya masih sekolah di tingkat dasar sekitar sepuluh tahun yang lalu.
Di pinggiran sungai seorang bapak termenung memandang langit. Gurat wajahnya menandakan begitu banyak masalah kehidupan yang dihadapinya. Gurat wajah yang seringkali saya temukan di wajah masyarakat negeri ini. Di wajah para pengangguran, pengamen, tukang becak, penjual koran, pengemis, guru honorer dan wajah lainnya.
“Bapak, nama kali ini apa yah?” Tanya saya berbasa basi.
Sang bapak mengalihkan pandangan kepada saya. “Ini namanya kali Babarsari”.
“Ooooh”, Jawab saya. “Tau gak sejarah sungai ini pak”. Selidik saya.
“Taulah mas.” Jawabnya tanpa menjelaskan sejarah kali itu sendiri.
Saya terdiam seraya memandangi aliran sungai. Entah kenapa, tak ada keinginan saya untuk mencari lebih jauh sejarah sungai itu.
Kali ini iseng iseng saya tanyakan padanya tentang Sultan. Setahu saya masyarakat Jogja begitu menghormati rajanya. Saya teringat bagaimana banyaknya masyarakat yang tumpah ruah saat beliau menikahkan salah seorang Putrinya. Jauh lebih banyak dibanding saat pernikahan sang anak Presiden. Saat itu masyarakat rela berdesak-desakan di jalan Malioboro hanya untuk bisa melihat dari dekat anak Sultan yang baru saja menikah.
“Bapak, suka Sultan gak…?”
“Wah sukalah mas. Dia kan raja kita.”
“Trus, bapak mau gak jadi Sultan?”
“Ha ha ha, Ngawur. Nggaklah mas. Saya bukan keluraga Sultan. Lagian kalau jadi Sultan siapa yang mau jadi rakyat saya. Saya gak bisa mas Jadi Sultan.”
“Kalau jadi Presiden bapak mau…?”
“Kalau presiden saya mungkin bisa mas. Dan itu yang harusnya diperjuangkan mahasiswa.”
“Maksud bapak…? Bapak mau jadi presiden terus mahasiswa memperjuangkan…?”
“Bukan gitu mas. Maksud saya, Mahasiswa harusnya memperjuangkan biar Presiden gak dari kalangan partai aja. Meskipun seseorang gak punya partai, tapi kalau dia pantas memimpin Inonesia seharusya bisa jadi calon Presiden. Calon independen.”
“Ohhh, gitu mas…” Saya cuman mengangguk.
Memang benar, wacana calon Presiden dari non partai sudah lama digulirkan. Hari ini seorang masyarakat biasa pun menginginkannya. Pertanyaannya kemudian. Apa bisa?
“Trus,lebih suka mana pak, Sultan atau Presiden kita.” Tanya saya lagi.
“Wah, kalau saya sih lebih Sultan Mas. Kalau Presiden sekarang gak begitu suka, Presiden sih baik mas, tapi orang-orang di sekitarnya yang gak baik. Apalagi sekarang BBM mau naik lagi mas. Masyarakat kecil macam saya ini bakal tambah susah mas.”
Saya jadi teringat isu BBM yang makin marak dibicarakan belakangan ini. Pemerintah bersikeras menaikkan harga BBM, Padahal beberapa pakar Ekonomi termasuk Kwik Kian Gie mengatakan bisa saja harga BBM gak dinaikkan.
“Jadi maunya bapak…?” Tanya saya kemudian.
“Yah itu tugasnya Mahasiswa. Demo biar BBM gak naik.”
“Memang setuju demo pak yah?”
“Iya, tapi demonya yang baik aja. Kalau mahasiswa demonya merusak yah jangan. Ujung-ujungnya malah nyusahin rakyat kecil.”
“Kenapa nggak bapak aja yang demo?”
“Wah, itu dulu mas. Waktu tahun berapa itu. Saya juga Ikut demo sama masyarakat yang lain. Tapi demonya damai mas”.
“Dibayar gak pak?”
“Ngak lah mas. Wong demonya dari hati nurani.”
Saya terdiam. Sejenak berfikir. Teringat bagaimana demo mahasiswa selama ini yang selalu identik dengan menyusahkan rakyat meskipun mereka menyebutnya atas nama masyarakat. Ini yang mungkin seharusnya mahasiswa lakukan saat akan melakukan aksinya. Melibatkan masyarakat saat berdemonstrasi. Sehingga kemudian kesannya demo tidak hanya sekedar tutup jalan dan bakar ban.
Dan entah kenapa kali ini rasa ingin tahu saya membawa saya kepada pertanyaan lainnya. Isu yang sempat hangat dibicarakan.
“Kalau soal ke istimewaan Jogja Pak. Setuju gak pak kalau pemimpin Jogja nantinya bukan Sultan.
“Lah, ga bisa toh mas. Biar Jogja itu tetap istimewa. Lagian masak Jogja yang harus ikut Indonesia. Dulu kan Indonesia mas yang mengikut ke Jogjakarta. Jogjakarta itu ada sebelum Indonesia ada mas. Ibu kota Indonesia dulunyakan Jogjakarta.”
Saya tersenyum. Saya pernah mendengar jawaban yang seperti ini sebelumnya. Namun cukup suprisingjuga mendengar hal ini dari seorang masyarakat biasa yang kerjanya seorang pengangguran. Saya tersenyum kepada bapak itu. Terdiam sejenak, mengucapkan selamat tinggal lalu melangkah pergi meninggalkannya menuju sungai dan mencemplungkan diri.
Dalam dinginnya air sungai, saya berujar; ”Percakapan dengan setiap orang selalu memberikan hal baru. Tak perduli itu dimana dan dengan siapa.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H