Oleh : Syamsudin Patola
Masalah penyimpangan seksual (lesbian, gay, biseksual dan transgender) sedang dalam perdebatan yang hangat dibicarakan dalam masyarakat, fenomena lesbias, gay, bisexsual dan transgender (LGBT) menimbulkan rasa cemas pada masyarakat luas.
Maraknya promosi atau iklan kaum LGBT di media sosial, bahkan menjalar ke kampus, sekolah dan tempat umum lainnya. Banyak yang beranggapan fenomena ini akan menjangkit generasi penerus bangsa, oleh karena itu penolakan secara massif dilakukan oleh ormas, LSM dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) serta jajaran pemerintah. Kekhawatiran masyarakat tentang perkembangan gerakan kaum LGBT bukan tanpa alasan, salah satunya apabila gerakan LGBT dibiarkan eksistensinya di Indonesia adalah legalisasi perkawinan sejenis. Sebuah gerakan tidak mungkin ada tanpa target dan tujuan akhir dari perjuangannya.
Bagi yang berpihak berpendapat bahwa LGBT adalah hak asasi manusia, tidak boleh didiskriminasikan oleh siapapun walaupun mereka kaum minoritas. Sedangkan yang kontra berpendapat bahwa LGBT merupakan penyakit dan gangguan seksualitas bisa disembuhkan, dan secara agama adalah hukumnya haram.
homoseksual termasuk dosa besar. Oleh karena perbuatan yang menjijikkan inilah Allah kemudian memusnahkan kaum nabi Luth A.S dengan cara yang sangat mengerikan. Allah SWT berfirman:
Artinya:
Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, Dan kamu tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang- orang yang melampaui batas" (QS. As-Syu'ra : 165-166)
Bahkan Homoseksual jauh lebih menjijikkan dan hina daripada perzinahan. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
Artinya:
Bunuhlah fa'il dan maf'ulnya (kedua-duanya) (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
Oleh karena itulah ancaman hukuman terhadap pelaku homoseksual jauh lebih berat dibandingkan dengan hukuman bagi pelaku pezina. Didalam perzinahan, hukuman dibagi menjadi dua yaitu bagi yang sudah menikah dihukum rajam, sedangkan bagi yang belum menikah di cambuk 100 kali dan diasingkan selama satu tahun. Adapaun dalam praktek homoseksual tidak ada pembagian tersebut. Asalkan sudah dewasa dan berakal (bukan gila) maka hukumannya sama saja (tidak ada perbedaan hukuman bagi yang sudah menikah atau yang belum menikah).
Sebenarnya ulama-ulama fiqh bebeda pendapat mengenai hukuman bagi pelaku homoseksual. Diantara pendapat para ulama tersebutÂ
adalah:
* Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa tindakan liwath mewajibkan seseorang mendapatkan hukuman hadd. Karena Allah Swt memperberat hukuman bagi pelakunya dalam kitab-Nya. Sehingga pelakunya harus mendapatkan hukuman hadd zina karena adanya makna perzinaan di dalamnya.
* Imam Abu Hanifah berpendapat, orang yang melakukan liwath hanya di hukum ta'zir saja. Karena tindakan liwath tidak sampai menyebabkan percampuran nasab, dan biasanya tidak sampai menyebabkan perseteruan yang sampai berujung pada pembunuhan pelaku, dan liwath sendiri bukanlah termasuk zina.
*Ulama Malikiyah dan ulama Hanabilah mengemukakan bahwa pelakunya dihukum rajam, baik pelakunya berstatus muhshan (telah menikah) maupun ghairu muhshan (belum menikah).
*Ulama Syafi'iyah berpandangan hukuman had bagi pelaku liwath adalah sama dengan hukuman hadd zina. Jika pelaku berstatus muhshan, maka wajib di rajam. Sedangkan, jika pelakunya berstatus ghairu muhshan, maka wajib dicambuk dan diasingkan. Hal ini di dasarkan pada satu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Musa al-Asyari ra, bahwasanya Rasul Saw bersabda: "Apabila seorang laki laki mendatangi laki-laki, maka kedua-duanya telah berzina. Dan apabila seorang perempuan mendatangi perempuan, maka kedua-duanya telah berzina".
Syekh Ibnu Taymiyah mengatakan bahwa seluruh sahabat Rasulullah SAW sepakat bahwa hukuman bagi keduanya adalah hukuman mati.Â
Dari pendapat-pendapat yang ada maka dapat dipahami bahwa fuqaha telah sepakat atas keharaman liwath, namun berbeda pendapat tentang jenis hukuman bagi pelakunya, dalam hal ini terdapat tiga jenis hukuman atau sanksi pagi pelaku perbuatan fahisyahini, yakni:
Dibunuh dalam bentuk di hukum rajam(jenis hukuman dalam bentuk dilempar dengan batu sampai mati) baik dilakukan oleh muhshan maupun ghairu muhshan). Hal ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud "Jika kamu sekalian mendapati orang yang melakukan perbuatan kaum Luth, bunuhlah orang yang menjadi subjek (pelakunya) dan yang menjadi objeknya (yang diperlakukan)".
Sama dengan sanksi bagi pelaku zina, yakni apabila yang melakukan liwath adalah muhshan, maka pelakunya di hukum rajam, jika pelakunya ghairu muhshan maka di dera (cambuk) seratus kali.
Hukum ta'zir (jenis hukuman yang diserahkan kepada pemerintah atau hakim). Dengan demikian, berat ringannya sanksi tersebut sangat ditentukan oleh pemerintah atau hakim.
  Larangan homoseks dan lesbian yang disamakan dengan perbuatan zina dalam ajaran Islam, bukan hanya karena merusak kemuliaan dan martabat kemanusiaan, tetapi resikonya lebih jauh lagi, yaitu dapat menimbulkan penyakit kanker kelamin, AIDS, dan sebagainya. Tentu saja perkawinan waria yang telah menjalani operasi penggantian kelamin dengan laki-laki, dikategorikan sebagai praktik homoseksual, karena tabiat kelaki-lakiannya tetap tidak bisa diubah oleh dokter, meskipun ia sudah memiliki kelamin perempuan buatan (Mahjuddin, 2003: 28).
Dalam Fatwa MUI Nomor 57 Tahun 2014 tentang lesbian, gay, sodomi, dan pencabulan, dengan tegas MUI memfatwakan bahwa pelaku sodomi (liw) baik lesbian maupun gay hukumnya adalah haram dan merupakan bentuk kejahatan, dikenakan hukuman ta'zr yang tingkat hukumannya bisa maksimal yaitu sampai pada hukuman mati. Demikian juga dalam hal korban dari kejahatan (jarmah) homoseksual, sodomi, dan pencabulan adalah anak-anak, pelakunya juga dikenakan pemberatan hukuman hingga hukuman mati.
Berkenaan dengan operasi kelamin atau transgender maka Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional II Tahun 1980, telah mengeluarkan Fatwa tentang Operasi Perubahan/Penyempurnaan kelamin. Dalam fatwa tersebut ada 3 hal yang diputuskan yaitu:
Merubah jenis kelamin laki laki menjadi perempuan atau sebaliknya hukumnya haram, karena bertentangan dengan al-Qur'an surat Annisa' ayat 19 dan bertentangan pula dengan jiwa syara'.
Orang yang kelaminnya diganti kedudukan hukum jenis kelaminnya sama dengan jenis kelamin semula sebelum diubah.
Seorang khunth (banci) yang kelaki lakiannya lebih jelas bolehdisempurnakan kelaki-lakiannya. Demikian pula sebaliknya, dan hukumnya menjadi positif (laki-laki).
Artikel ini memberikan kesimpulan sekaligus merekomendasikan  risalah  Islam  yakni:  (1)  Memperkuat  iman dan  taqwa  (IMPTAQ)  melalui  dakwah  dan  pendidikan.  (2) Menanamkan  dan  meingkatkan  pendidikan  akhlak  yang  mulia ()  khususnya  terhadap  anak-anak  dan  masyarakat  pada umumnya.   (3)   Meningkatkan   peran   orang   tua   terhadap kecenderungan seksualitas anak. Penelitian  dari  seorang  ahli  di  Amerika  Serikat  Gary Ramafedi  pada  tahun  1992  dari  University  of  Minnesota, Minneapolis,  Amerika  Serikat,  menyatakan  bahwa  melalui pendidikan  agama  sejak  dini,  maka  peluang  anak  untuk  menjadi homoseksual  menjadi  amat  kecil.
43  Dalam  Islam  pendidikan agama  sangat  penting,  karena  itu  setiap  orang  tua  muslim  harus membekali  diri  dengan  ilmu  pengetahuan  tentang  tata  cara mendidik anak. Pada  dasarnya  setiap  anak  yang  lahir  di  muka  bumi  ini dalam   keadaan   fitrah,   maka   orang   tua   dan   keadaan lingkungannyalah  yang  akan  mengarahkan  dia  untuk  terbentuk menjadi  identitas  yang  seperti  apa.  Terkait  dengan  keadaan  anak yang   dilahirkan   dalam   keadaan   fitrah   Rasulullah   Saw menyatakan dalam sabdanya. .
()44Artinya  :  "Abi  Hurairah  r.a.  berkata:  Nabi Saw bersabda,  setiap  anak  dilahirkan  dalam  keadaan  fitrah,  orang tuanyalah   yang   menjadikan   dia   Yahudi,   Nasrani,   dan Majusi."(H.R. al-Bukhari)"Pendidikan  agama  dan  pendidikan  seks  untuk  anak merupakan  salah  satu  upaya  antisipasi.  Orang  tua  mengambil peranan  yang  sangat  penting  dalam  hal  ini.  Islam  juga  mengatur cara  memberikan  pendidikan  seks  kepada  anak,  dengan  cara melakukan treatment yang berbeda antara anak laki-laki dan anak perempuan.
Penyimpangan Seksual (LGBT)dalamPandanganHukumIslam|26 | Misykat, Volume 03,Nomor 02, Desember 2018Misalnya  dalam  hal  permainan,  pakaian,  dan  Islam sendiri menganjurkan untuk memisahkan tempat tidur antara laki-laki  dan  perempuan  ketika  mereka  telah  menginjak  usia  tujuh tahun, sebagaimana Hadits Nabi Muhammad Saw berikut ini. ::()45Artinya: Â
"Dari  Amr  bin  Syuaib,  dari  ayahnya,  dari kakeknya yang mengatakan bahwa Rasululllah Saw bersabda:"Perintahlah  anak-anakmu  melakukan  shalat  ketika umurnya  sudah  sampai  tujuh  tahun  dan  pukullah  jika  mereka meninggalkan  shalat,  jika  umurnya  sudah  sepuluh  tahun  dan pisahkanlah tempat tidurnya." (H.R. Abu Daud)Pertama, menjauhi hal-hal yang dapat mengarahkan pada perilaku  yang  mendekatkan  pada  tindakan  homoseksual  dan lesbian. Orang tua  juga  masih   mengambil  peranan   penting  dalam    hal  ini,  menghindari  hal-hal  yang  dapat  mengarahkan seseorang  melakukan  tindakan  homoseksual  dan  lesbian,  yakni  :
(1)Melarang  laki-laki  melakukan  hal-hal  yang  menyerupai tindakan   perempuan,   begitupun   sebaliknya.   Sebagaimana diterangkan dalam hadits Nabi Muhammad Saw berikut ini. 46()Artinya:"Allah mengutuk laki-laki memakai pakaian perempuan dan perempuan memakai pakaian laki-la
(H R. Abu Daud dan al-Hakim dari Ibnu Abbas
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H