Mohon tunggu...
syamsudin prasetyo
syamsudin prasetyo Mohon Tunggu... -

pejuang kebahagiaan dunia akhirat yang mengabdikan diri untuk ibadah dan kemaslahatan umat manusia.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jakarta Baru Vs Maju Terus Jakarta

10 September 2012   03:34 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:41 684
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menilik pertarungan yang telah berlangsung pada tanggal 11 Juli 2012 untuk Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta yang diselenggarakan secara langsung dipilih oleh rakyat, menggelitik rasa ingin tahu saya untuk menakar berbagai sisi dari Jokowi-Ahok dan Foke-Nara mulai dari idealisme, kepemimpinan, dukungan politik, sumber daya finansial hingga pencitraan berbagai media. Bagaimana peta kekuatan pada tanggal 20 September nanti, siapakah yang bakal benar-benar memimpin Jakarta selama 5 tahun ke depan, ‘Jakarta Baru’ atau ‘Maju Terus Jakarta’?.

Diluar dugaan banyak pihak yang menyangsikan hasil perhitungan KPU DKI Jakarta terhadap pemilihan kepala daerah tersebut yang mengunggulkan pasangan Jokowi-Ahok, bahkan ada sebagian kalangan yang mengira pilkada DKI Jakarta pada tanggal 11 Juli tersebut hanya berlangsung satu putaran, selain kejutan-kejutan raihan suara pasangan independen Faisal-Biem yang mampu melampaui calon dukungan partai kuning Alex-Nono. Foke-Nara yang ditengarai mampu unggul ternyata hanya berada di urutan kedua, membuktikan bahwa pemilih Jakarta memang sesungguhnya menginginkan adanya perubahan. Dan sangat disayangkan dukungan yang diberikan masyarakat kepada Hidayat-Didik hanya belasan persen sangatlah kecil jika kita bandingkan dengan dukungan kepada Adang-Dani pada pemilukada periode sebelumnya.

Dengan sistem perhitungan sah 50% + 1 suara ternyata membuat pilkada DKI Jakarta harus berlangsung sebanyak dua putaranberdasarkan UU No.29/2007. Hasil pada putaran pertama yakni; pasangan calon nomor urut satu Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara) dengan 1.476.648 suara (34,05%), pasangan calon nomor urut dua, Hendardji Supandji-Ahmad Riza Patria dengan 85.990 suara (1,98%), pasangan nomor urut tiga, Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama 1.847.157 suara (42,60%), pasangan calon nomor urut empat, Hidayat Nur Wahid-Didik Junaedi Rachbini dengan jumlah suara 508.113 (11,72%). Kemudian, pasangan calon jalur independen dengan nomor urut lima, Faisal Batubara-Biem Benyamin dengan jumlah 215.935 suara (4,98%) dan pasangan calon nomor urut enam Alex Noerdin-Nono Sampono memperoleh 202.643 suara (4,67%).

Dengan demikian, warga Jakarta bisa menganalisis bahwa pemilih DKI Jakarta sebenarnya haus akan perubahan, Jokowi-Ahok sebagai kuda hitam mampu mengungguli Foke-Nara yang berperan sebagai incumbent. Terlepas dari penilaian tulisan ini mengarah kepada siapa diantara dua pasangan tersebut, namun yang pasti bahwa Foke-Nara dan Jokowi-Basuki memang terbukti memiliki modal social-politik-ekonomi dasar yang besar (idealisme, kepemimpinan, dukungan politik, sumber daya finansial dan pencitraan media) sehingga mampu unggul jika dibandingkan dengan pasangan-pasangan yang lainnya.

Idealisme Foke-Nara terlihat kurang kuat jika berbanding dengan Jokowi-Basuki, ditilik dari slogan ‘satu putaran’ yang didengungkan, dengan slogan tersebut sesungguhnya menghambat proses demokratisasi dan pematangan pola pikir politik masyarakat. Nasionalisme-religius yang diusung partai Demokrat juga tidak diperhatikan oleh masyarakat Jakarta yang sebagian besar apatis, kaum agama dianggap sama dengan kaum abangan tidak bisa menyelesaikan persoalan masyarakat. Nasionalisme murni yang diusung oleh partai PDIP dan Gerindra sehati karena kimiawi nasionalisme ini diharapkan bisa membela kepentingan rakyat kecil Jakarta yang selama ini tertindas oleh kaum kaya ibukota.

Sikap ketus dan kasar Foke juga disinyalir menjadi elemen penting bosannya masyarakat terhadap pemimpin yang angkuh dan tidak mau mendengarkan aspirasi warganya, bertolak belakang dengan perilaku Jokowi yang santun, ramah dan bersahabat dengan semua lapisan masyarakat, hal itu mampu menyentuh hati nurani baik kalangan bawah hingga atas. Idiom Jakarta Baru juga dianggap lebih seksi ketimbang Maju Terus Jakarta, karena bagaimana Jakarta mau terus maju sementara selama lima tahun kepemimpinan Foke dianggap gagal menyelesaikan berbagai permasalahan urgen kota Jakarta. Dari Jakarta Baru dan Maju Terus Jakarta tergambar bahwa masalah banjir, macet, polusi, pengangguran, kriminalisme, terorisme, kemiskinan sangat dinginkan untuk bisa enyah secepatnya, namun slogan mana yang lebih tepat, pembaca bisa menilai sendiri.

Kepemimpinan Foke-Nara yang dianggap belum mampu mengatasi banjir, macet, keamanan, kemiskinan, dsb, kita sandingkan dengan keberhasilan Jokowi-Ahok yang menerima penghargaan internasional dalam menata kota Solo dan Belitung Timur yang bersih dari korupsi. Memang benar adanya bahwa persoalan ibukota tidaklah sama dengan kota-kota lain yang ada di Indonesia, namun mungkinkah jika DKI Jakarta memperoleh penghargaan internasional sebagai kota terindah, terbersih, tertata, ternyaman, teraman, tersejahtera?. Masing-masing dari kedua calon pasangan tersebut pernah menjadi pemimpin dalam ranahnya masing-masing meski skalanya berbeda, tetapi track record mereka ternyata berbeda hasilnya. Nah, mari cerdas menimbang siapa yang lebih layak dalam sisi kepemimpinan?.

Dukungan politik Foke-Nara sangatlah berlimpah saat ini dari berbagai macam partai politik lintas ideologi, ada sekitar dua puluh lebih partai pendukung pasangan asli Betawi ini. Coba kita hitung secara matematis, tambahan suara dari Alex-Nono dan Hidayat-Didik sekitar 16,39% (4,67% + 11,72%), murni total 50,44%. Jumlah tersebut telah mencapai 50% + 1 suara. Lalu jika kita bayangkan arus perubahan yang didengungkan oleh calon pasangan independen pada putaran pertama lalu, diikuti oleh pemilihnya untuk beralih ke Jokowi-Ahok maka total suara calon pasangan Jawa-Sumatera ini adalah (1,98% + 4,98% + 42,60%) yakni 49,56%, masih kurang dari syarat pemenangan 50% + 1 suara. Namun dukungan politik sulit dianalisis secara matematis, meskipun bisa-bisa saja, sehingga peta kekuatan politik kedua calon pasangan putaran kedua ini sangat berimbang, semua bisa terjadi dan siapapun memiliki kesempatan sama besar untuk memenangkan pertarungan, prediksi menjadi sangat absurd dan sulit.

Yang paling sukar diamati adalah sumber daya finansial karena sistem politik di Indonesia belum mewajibkan keterbukaan sumber dana politik dan mekanisme penggunaannya. Keterbukaan akan ‘uang’ sebagai salah satu pelumas daya dorong mesin politik masihlah tabu untuk dibicarakan secara umum. ‘Uang’ bukan hanya berarti ‘politik uang’ jika memang ada, namun juga yang secara resmi dipergunakan untuk kampanye dan operasional. Analisis uang secara pribadi menjadi sisi yang paling tertutup dan sukar diakses jika dibandingkan dengan sisi analisis kita yang lainnya. Tetapi untuk mudahnya, kekuatan financial bisa kita amati dari dukungan parpol yang suara yang diperoleh pada putaran pertama, celengan banyaknya partai besar tentu melimpah dan donasi masyarakat bisa dilirik dari jumlah perolehan suara.

Analisis terakhir adalah pencitraan media, dukungan media kepada kedua pasangan calon bisa dihitung dari jumlah berita dan iklan politik yang dilakukan mereka melalui media massa baik cetak, elektronik, online hingga seluler. Berita yang menghiasi berbagai media pun akan berpengaruh kepada pemilih potensial yang melek aksara dan teknologi, sementara pemilih potensial yang kurang terdidik bisa didekati melalui kunjungan langsung atau aktivitas sosial yang dilakukan di sekitar pemukiman masyarakat. Janji politik yang diberikan kepada komunitas, paguyuban atau kelompok masyarakat tertentu juga kelak akan ditagih oleh warga pemilih karena pemimpin tersebut meminta dukungan suara kepada mereka. Saya sebagai pengguna media internet setiap hari, menganjurkan kepada para pembaca tulisan saya untuk memantau situs www.jakartabaru.com dan www.majuterusjakarta.com untuk melihat dan menganalisis siapa calon yang lebih berhak dan lebih layak memperoleh coblosan suara tiap-tiap pribadi anda. Selamat menganalisis, berkomentar dan memilih pada tanggal 20 September 2012 di dalam bilik suara masing-masing.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun