“Naik sepeda mini, nanda pergi mengaji
Bersama kawan-kawan belajar baca Al-Quran
Agar tak suram di masa depan….” (Suara Persaudaraan)
Sudah berapa lama anda tidak mengkaji Al-Quran, tidak membaca ayat-ayat kauniyah satu per satu untuk diambil hikmah yang terkandung di dalamnya. Menghafal satu demi satu surat pendek dalam juz 30 yang biasa kita ringkas sebagai Juz Amma. Atau mungkin bukan sisi konten yang anda ingat, melainkan konteks pengajian dimana selepas sholat maghrib kita mengayuh sepeda bersama kawan-kawan kecil kita, bercengkerama sambil mencari ilmu yang konon tak akan habis jika digali terus menerus oleh para cendekiawan.
Satu tahun, dua tahun atau mungkin bertahun-tahun lalu tersebut memori tersebut masih terngiang dalam ingatan kita orang tua kita mengingatkan betapa pentingnya mengingat firman Tuhan dalam setiap keseharian kita, dan biasanya waktu yang dianggap paling pas adalah ba’da shalat maghrib ditunaikan. Secara tidak sadar ternyata hal tersebut berdampak terhadap pembentukan kepribadian kita di kemudian hari, baik secara afektif, kognitif maupun psikomotorik.
Mengaji merupakan istilah yang begitu melekat dalam mainstream kebiasaan masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan, mulai desa terpencil sepi hingga kota besar yang hingar binger. Semuanya mengenal bahwa mengaji adalah sebuah aktivitas yang akrab dalam sosiodemografis Islam Indonesia yang heterokultural dan agamis. Namun sadarkah kita bahwa mengaji telah menjadi sebuah budaya yang usang dan terpinggirkan namun mampu menopang moral pelakunya di kemudian hari.
Ternyata mengaji memberikan dampak yang luar biasa dalam berbagai aspek, 1) afektif, mengaji secara tidak langsung mampu mempengaruhi sifat anak menjadi lebih peka terhadap sifat keTuhanan, anak sadar akan keberadaan Zat yang Maha Besar, 2) kognitif, dengan menghafal surat pendek atau membaca susunan ayat Al-Quran dengan susunan tertentu atau menterjemah akan memperkuat struktur otak akan kemampuan mengingat dan menggunakan daya nalar, 3) psikomotorik, membaca Al-Quran dengan tekanan dan lafal tertentu akan memperkuat pernapasan dan kesehatan otak serta melancarkan aliran darah.
Dengan ditinggalkannya kebiasaan positif ‘maghrib mengaji’ dan tergantikan dengan menonton sinetron atau bercengkerama di jejaring social tentu sangat merugikan bagi generasi muda yang mengalami dekadensi moral, tidak perlu disebutkan berapa banyak kasus kenakalan remaja dan sikap pragmatis serta westernisasi mencuci otak remaja Indonesia sehingga lupa akan jati diri dan kekuatan awalnya sebagai bangsa yang beradab.
Mari kita kaji bersama, apakah memang kebiasaan ‘MAGHRIB MENGAJI’ lebih banyak berdampak positif daripada negatif bagi anak-anak kita?, atau kebiasaan tersebut mengurangi waktu 24 jam kita yang lebih lebih banyak dihabiskan di jalanan ibukota yang macet atau gandrung teknologi namun kurang menyentuh esensi manfaat atau mungkin mulai terpukau dengan budaya barat yang mengagungkan ke-praktis-an dan hedon. Apalagi pemerintah melalui Kementerian Agama mencanangkan gerakan ‘MAGHRIB MENGAJI’ sebagai gerakan nasional. Tidak ada salahnya kita kembali kepada budaya yang konon usang namun ternyata mampu menopang moral bangsa tetap pada fitrahnya sebagai bangsa besar yang beradab?. Mari ajak anak kita mengaji di waktu maghrib. Mari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H