Pemilihan Presiden sedang dihelat sebagai sirkulasi pimpinan nasional. Saat ini masih merupakan musim kampanye pasangan calon Presiden dan wakil Presiden. Dari penyampaian visi misi capres, kandidat Jokowi-JK satu-satunya pasangan calon yang memiliki konsep penyelesaian pelanggaran HAM berat yang terjadi dimasa lalu, sementara pasangan lainnya, tidak menyinggung sama sekali dalam Pilpres kali ini.
Dalam pemantauan saya sebagai pegiat HAM, selama 16 tahun usia reformasi dan sejak Pilpres tahun 1999 hingga 2009 tak satu pun capres dalam momen itu berani menyatakan akan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM kecuali baru pasangan calon Jokowi-JK Pilpres kali ini. Ini yang membuat saya berpikir bahwa pasangan ini harus kita Bantu untuk disukseskan.
Ada tiga kasus pelanggaran HAM yang telah disidangkan yaitu kasus Timor-Timur, kasus Tanjung Priok dan Abepura tak memberi keadilan bagi korban dan keluarganya. Putusan pengadilan lebih berpihak kepada sang pelaku, mereka semuanya lepas dari jeratan hukum dan bahkan sebagian dari pelaku justeru mendapat promosi jabatan startegis sementara rakyat korban hanya mampu berharap.
Kunci dari penyelesaian pelbagai kasus pelanggaran HAM adalah Presiden. Jika Presiden terpilih berlatar belakang Militer dan bahkan pelaku pelanggar HAM maka harapan tuntasnya pelanggaran HAM hanya sekedar mimpi belaka, dan lagi-lagi korban dan pegiat HAM sekedar mampu menuntut tapi keadilan tak akan pernah diraih.
Peradilan pidana di Indonesia belum dapat memberikan keadilan yang substansial. Peradilan seringkali memberikan toleransi terhadap kejahatan-kejahatan tertentu dengan membebaskan para pelaku kejahatan dan menodai rasa keadilan masyarakat.
Untuk melakukan proses peradilan terhadap kejahatan kemanusiaan melalui mekanisme nasional diperlukan instrumen hukum nasional yang memadai sesuai dengan prinsip-prinsip dalam hukum internasional sehingga perlu dibentuk pengadilan HAM, selain sebagai bentuk tanggung jawab Indonesia sebagai anggota PBB juga sebagai pelaksanaan TAP MPR No.XVII/MPR/1998 tentang HAM dan sebagai tindak lanjut dari Pasal 104 ayat 1 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk pengadilan HAM di lingkungan peradilan umum, maka lahirlah UU no. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Kelemahan dalam penegakan hukum HAM oleh pemerintah (eksekutif) melalui Kejaksaan Agung sebagai penyidik, dan lembaga Yudikatif (hakim) dalam memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM berat juga dibarengi dengan substansi (asas atau norma) UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM dinilai banyak mengandung kelemahan, oleh karena kuatnya tarik-menarik kepentingan politik dalam pembentukannya.
Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 sendiri tidak mendefinisikan secara jelas pengertian Pelanggaran HAM Berat, namun Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000 tercantum bahwa pelanggaran HAM berat hanya meliputi dua macam kejahatan yaitu genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Sementara Penjelasan Pasal 104 UU No. 39/1999 memberikan definisi yang berbeda dengan kedua rumusan tersebut yaitu;
Pertama, Yang dimaksud dengan Pelanggaran HAM Berat adalah pembunuhan massal (genoside), pembunuhan sewenang-wenang atau diluar putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial killing), penyiksaan/penghilangan orang secara paksa, perbudakan atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination). Hal ini tentu menjadikan disharmonisasi antara dua aturan perundang-undangan yang pada dasarnya saling terkait.
Kelemahan kedua, adalah bahwa acuan utama dari perumusan kedua kategorisasi perbuatan yang dianggap sebagai bentuk pelanggaran HAM berat adalah Statuta Roma, namun hanya sebagian saja, yaitu genocidadancrimes against humanity. Akibatnya delik kejahatan Internasional di luar dua jenis kejahatan tersebut seperti misalnya kejahatan agresi dan kejahatan perang tidak dapat diadili dengan Undang-undang ini.
Oleh karena itu Pengadilan HAM ini dikhawatirkan oleh banyak pihak tidak akan dapat memberikan effective remedy bagi pelaku pelanggar HAM Berat. Padahal penjelasan Undang-Undang ini secara eksplisit menyatakan bahwa UU ini mengacu pada Statuta Roma.
Pengadopsian banyak mengalami kesalahan, sehingga banyak menimbulkan interprestasi dalam pelaksanaannya; Elemen-elemen kejahatan HAM tidak disertakan, Tidak adanya hukum acara, pembuktian secara khusus dalam tindak pidana pelanggaran HAM ini serta penerjemahan yang dinilai sangat bias dan politis sehingga para pelaku kejahatan HAM semakin susah dipenjarakan.
Sementara itu, secara prosedural dan kelembagaan, pada dasarnya undang-undang pengadilan HAM dinilai memiliki kelemahan.Diantaranya adalah masalah kewenangan penyelidikan dan penyidikan yang berada dibawah dua lembaga yang berbeda yaitu Komnas HAM dan Kejaksaan. Belum lagi hadirnya undang-undang tentang perlindungan saksi dan korban yang melahirkan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang hubungan dan mekanisme koordinasinya belum dicakup dalam UU No. 26/2000. Padahal, sebagaimana diketahui secara umum, kewenangan terbesar LPSK adalah pada upayanya memberikan perlindungan terhadap korban dan saksi termasuk restitusi dan kompensasi pada korban Pelanggaran HAM berat.
Korban pelanggaran HAM dalam makna human rights violation merupakan tanggung jawab dan kewajiban negara untuk memenuhinya hak kompensasi, restitusi dan rehabilitasi sebagaimana dalam Pasal 35 (1) UU pengadilan HAM dan dalam UU No.13/2006 tentang LPSK berkaitan dengan hak reparasi; meliputi restitusi, kompensasi, rehabilitasi, kepuasan (satisfaction), dan jaminan ketidak-berulangan (non reccurence). Demikian pula yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban.
Hak korban dalam posisi ini tak perlu menunggu putusan pengadilan HAM Berat, karena secara de facto peristiwa tersebut benar terjadi sehingga penyelesaiannya dapat melalui polical will Presiden sebagai penanggung jawab pemerintahan negara. Seseorang atau sekelompok orang warga negara menjadi korban pelanggran HAM karena akibat tindakan (by commission) ataupun kelalaian (by omission) Negara dalam menjalankan kewajibannya (state obligation) untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fullfil) hak asasi setiap warganya.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H