Mohon tunggu...
syamsuddin M Tinggal
syamsuddin M Tinggal Mohon Tunggu... -

muslim transformatif

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Tolong Jangan Pukuli Lagi Para Santri

9 Desember 2014   02:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:45 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Tidak semua orang paham bagaimana kehidupan di pesantren. Proses ekslusifitas pendidikan islam tradisional yang sudah sistemnya berjalan ratusan tahun itu kebanyakan menutup diri dan membatasi para santri untuk keluar masuk pesantren. Hanya orang-orang yang pernah dipesantren lah yang paling paham bagaimana pendidikan itu dilaksanakan, bagaimana dan apa yang dirasakan oleh para santri. Hal ini ditambah dengan kondisi pesantren yang sekarang terdiri dari beberapa model, mulai pesantren salaf kuno, semi modern atau bahkan betul-betul modern, maka semakin tidak mudah untuk memberikan penialaian terhadap satu kasus di dunia pesantren kemudian di generalisasi, walaupun ada beberapa hal ynag sifatnya general dalam arti ia berlaku di seluruh dunia pesantren. Yang dmaksud pesantren salaf kuno adalah sistem pembelajaran, materi-materi yang dikaji adalah model dan referensi dari para pemikir islam klasik terutama dari disisplin ilmu fikih, aqidah dan ilmu alat sepeti Nahwu, Sharaf dan balaghah. Semi modern umumnya berkarakter memasukkan beberapa kurikulum baru yang dianggap sesuai, dari berbagai sumber baik dalam negeri maupun luar negeri yang lebih kekinian dan lebih segar. Adapun pesantren modern ia lebih seperti asrama dengan management yang betul-betul kekinian namun tetap konteks pendidikan islam.
Berita hari ini (8 Desember 14) di salah satu media televisi mengangkat berita tentang kasus hukuman cambuk yang berlaku di salah satu pesantren di jawa timur. Kasus tersebut terdokumentasi dalam bentuk video dimana tiga orang santri dicambuk di depan para santri yang lain entah karena kesalahan apa yang telah dilakukan atau aturan mana yang telah dilanggar. Terlepas dari kesalahan apa yang telah dilakukan, tapi hukuman cambuk yang dilakukan sebagai bentuk sanksi atas suatu pelanggaran tidak bisa dibenarkan. Ada beberapa alasan yang mampu membawa pemahaman bahwa tindakan tersebut sama sekali tidak bisa dibenarkan.
Pertama, Indonesia sebagai negara hukum mempunyai aturan hukum yang jelas bahwa dalam setiap tindak pidana, hukuman hanya boleh dilakukan oleh pihak yang berwenang melakukan hukuman dalam konteks ini negara. Artinya kalau misal pelanggaran yang dilakukan oleh tiga orang santri tersebut adalah pelanggaran tindak pidana, maka tidak ada seorangpun kecuali lembaga negara mempunyai wewenang untuk memberikan pidana cambuk seperti yang telah dilakukan oleh sang “algojo” dipesantren tersebut. Maka secara tinjaun hukum positif di indonesia pelaku hukuman cambuk merupakan tindak pidana penganiayaan sebagaimana diatur dalam pasal 351 KUHP. Dalam pasal tersebut memang tidak dijelaskan mengenai apa itu penganiayaan dan hanya menyebutkan hukuman yang diberikan pada pelaku penganiayaan. Tentang apa yang dimaksud penganiayaan dalam pasal 351 KUHP R. Soesilo dalam bukunya dalam bukunya yang berjudul “kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) serta komentar-komentarnya lengkap dengan pasal-pasal” mengatakan bahwa undang-undang tidak menyebutkan apakah ynag dimaksud denga penganiayaan itu, menurut yurisprudensi yang dimaksud dengan penganiayaan adalah dengan sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka. Jadi negara harus berani menangani kasus ini secara tegas karena kejahatan atau tindak pidana yang paling berbahaya bukanlah tindak pidana yang dilakukan atas kesadaran pelaku bahwa perbuatan itu salah, melainkan tindak pidana yang dilakukan sementara pelaku merasa perbuatan tersebut adalah benar sehingga tidak ada keraguan sedikitpun untuk mengulangi tindak pidana serupa.
Kedua, kasus ini terjadi dilembaga pendidikan yang seharusnya menjadi contoh bagaimana berperilaku baik sebagai seorang warga negara. Pendidikan haruslah menanamkan nilai-nilai yang baik pada semua anak didik dan mencontohkan bagaimana mengimplementasikan nilai yang diajarkan. Kalaupun pelaku berdalih bahwa ini bagian dari mendidik agar pelangaran yang dilakukan oleh ketiga santri yang dihukum dengan cambukan tersebut tidak diulangi dan tidak ditiru oleh santri yang lain hemat penulis itu diluar konteks mendidik, itu hanya dilakukan untuk menjaga agar peraturan yang diberlakukan di pesantren bisa ditegakkan. Tidak ada proses edukasi didalamnya bahkan akan membahayakan bagi santri yang lain karena mereka dibiasakan dan dipaksa melihat kekerasan fisik di depan matanya secara langsung dan bagaimana jika santri yang dipaksa melihat kasus cambukan itu adalah santri dibawah umur?, maka itu akan merusak psikologi para santri terutama santri dibawah umur.
Selain efek negatif secara psikis yang berdampak pada semua santri, efek jera yang diinginkan oleh pelaku kepada santri yang dihukum juga tidak bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah karena tidak satu teori pun dalam dunia pendidikan yang membenarkan bahwa ada korelasi antara kekerasan fisik dengan mendidik. Pelaku pendidikan harus betul-betul sadar dimana mereka sedang mengabdi, semua yang dilakukan haruslah atas dasar mendidik, memberi pengajaran yang santun, edukatif dan efektif, bukan efektif dalam sesaat namun berdampak negatif dalam jangka panjang.
Ketiga, pelaksanaan sanksi berupa hukuman cambuk ini berangkat dari pemahaman atas hukum pidana islam. Karena pesantren adalah pendidkan yang berbasis islam dan yang dipelajari adalah seputar keislaman, maka mereka mencoba untuk melaksanakan apa yang mereka pahami dan yang mereka yakini benar. Lantas benarkah islam mebenarkan hukuman cambuk sebagai salah satu sanksi dalam konteks pelanggaran yang dilakukan umatnya dalam bingkai amar ma’ruf nahi munkar? Islam sebagai sebuah ajaran yang universal. Islam datang untuk merevisi ajaran-ajaran sebelumnya yang dianggap tidak lagi berdiri di jalur yang benar terutama dalam konteks tauhid atau pengesaan tuhan. Islam oleh sebagian uatnya dipahami sebagai ajaran yang konferehensif dan lengkap, ia adalah agama yang kaffah. Apakah kelengkapan islam sebagai sebuah agama dipahami dengan semua hal yang pernah ada dalam islam sebagai sebuah dktrin tuhan yang sama sekali mengenyampingkan aspek sosio kultural, jika memang demikian lantas dimana dan bagaimana islam mewujudkan diri sebagai agama yang menjadi rahmat untuk seluruh alam. Dalam masa nabi Muhammad SAW, pidana islam memanglah ditegakkan. Setiap pelanggaran yang dilakukan seperti zina, membunuh, dan perbuatan-perbuatan yang dilarang ditentukan bentuk hukuman-hukumannya seperti qishash, cambuk dll. Tapi yang perlu dipahami dalam setiap ajaran islam adalah apakah semua hukum tersebut tetap harus dilakukan dan dilaksanakan disetiap tempat dan waktu? Jawabannya tidak. Hal-hal ini dalam islam disebut sebagai ajaran Furu’iyah atau partikular. Yang tidak bisa dirubah dalam islam adalah hal-hal ushuliyah atau dimensi pokok seperti pengesaan tuhan, shalat haji dan beberapa hal pokok yang lain. Bukti bahwasannya masalah furu’iyah ini bukanlah hal pokok adalah bahwanabi enggan untuk melakukan hukuman rajam terhadap seseorang yang mengaku berbuat zina, contoh lain yang tetap dalam konteks berubahnya hukum-hukum furu’iyah adalah orang-orang yang berhak menerima zakat di masa Khalifah Umar ibn Khattab yakni pemberlakuan hukum atas tidak berhaknya seorang muallaf atau orang yang bar masuk islam sebagai bagian dari golongan yang menerima zakat walaupun penerima zakat ini sudah ditetapkan delapan golongan di dalam alquran, dalam konteks ini Umar melihat bahwa kondisi orang yang masuk islam bukanlah orang-orang yang akan terdzalimi, berbeda dengan ornag yang baru masuk islam dimasa Nabi yang mana mereka harus menpatkan diskriminasi dari lingkungan masyarakat atau bahkan keluaganya sendiri, inilah islam, ia ajaran yang tetap dalam beberapa hal (ushuliya) dan dinamis disisi yang lain (furu’iyah). Jadi pemberlakuan hukuman cambuk yang terjadi dipesantren itu benar-benar salah sasaran baik dari aspek landasan hukum islamnya, hukum positifnya maupun dari sisi sosiologisnya yaitu pesantren sebagai lembaga pendidikan.
Berbicara mengenai pengetahuan tentang islam –dalam posisi kita sebagai umat islam indonesia- pesantren adalah satu-satunya lembaga pendidikan yang tetap konsisten untuk mengajarkan islam kepada segenap generasi bangsa. Islam sebagai ajaran yang berdimensi moral dan spirit transendental ditengah kondisi bangsa yang mengalami krisis besar dalam aspek moral baik dari kalangan tua sampai kalangan mudanya pesantren menjadi salah satu harapan bangsa ini untuk mencetak para kader bangsa yang bermoral dan berakhhlak karimah yang nantinya akan menjadi tulang punggung bangsa indonesia. Harapan kita pada pesantren sangat besar ditengah lembaga pendidikan yang lain lebih mementingkan aspek kognitif dan nyaris melupakan aspek spiritual, ditengah kondisi dunia akademik sedang galau mendengar kasus-kasus amoral seperti seorang guru besar yang ditangkap karena menkonsumsi narkoba bersama seorang wanita yang kabarnya adalah mahasiswi. Mari kita selamatkan pesantren kita, mengkritik bukan berarti membenci, saya mengkritik karena saya cinta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun