Mohon tunggu...
syamsuddin M Tinggal
syamsuddin M Tinggal Mohon Tunggu... -

muslim transformatif

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Quo Vadis Spirit Tauhid; Teologi Pembebasan atau Teologi Transformatif

4 Desember 2014   14:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:04 693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Berbicara masalah teologi tidak akan menemukan titik habis. Selama manusia beragama dan berkeyakinan akan adanya tuhan, maka teologi akan terus menjadi wacana pemikiran yang subur dalam setiap generasi manusia. Istilah teologi yang diambil dari akar kata Teo yang bermakna tuhan dan logos yang bermakna ilmu pengetahuan maka teologi secara kasar diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang membahas masalah ketuhanan.
Teologi dalam perkembangan pemikiran islam mendapat tempat ynag cukup seksi. Teologi yang diistilahkan menjadi ilmu kalam memberikan warna dalam sejarah peradaban islam. Dialektika pemikiran tentang ketuhanan mengalami gesekan yang cukup kuat sehingga berdampak pada tatanan sosial umat islam yang terpecah-pecah menjadi beberapa kelompok pemikiran, gerakan bahkan kelompok politik. Fenomena ini menunjukan bahwa teologi bukanlah masalah yang sekunder dikalangan umat islam.
Dalam perjalanannya, teologi sebagai sebuah disiplin ilmu mengalami beberapa perubahan dalam penekanan objek yang dibahas. Pada masa Muhammad Saw, permasalahan teologi tidak menjadi perdebatan karena pada saat itu umat islam mendapat bimbingan langsung dari tuhan baik melalui Muhammad Saw maupun dari wahyu yang diturunkan oleh tuhan secara langsung. Namun kondisi berbeda ketika pasca wafatnya Muhammad Saw, teologi mulai menjadi tema pokok perdebatan terutama pada masa Muawiyah bin abi sufyan menjabat sebagai khalifah sehingga umat islam terpecah menjadi banyak sekte dan golongan seperti qadariyah, jabariyah, syiah, khawarij dll. Perdebatan ynag banyak terjadi adalah seputar intervensi kekuasaan dan kehendak tuhan terhadap perilaku dan usaha manusia, dan pekanannya berputar pada “bagaimanakah tuhan”. Namun dalam perkembangan kekinian perkembangan teologi sudah tidak lagi seputar permasalahan “bagaimanakah tuhan” itu tadi, teologi kekinian (kontemporer) lebih membumikan masalah ketuhanan, artinya bagaimana manusia mampu melepaskan diri dari segenap permasalahan sosial ynag dihadapi dengan spirit ketuhanan. Teologi pembebasan adalah salah satu dari bentuk dan model teologi kekinian. Walaupun pemahaman tentang teologi pembebasan pertama kali dilakukan oleh sorang uskup asal Peru bernama Gustavo Gutierrez, namun wacana ini turut berkembang dikalangan umat islam terutama oleh tokoh-tokoh pemikir islam kontemporer seperti Ali Asghar Engineer dan Farid Isack. Fenomena pergeseran teologi ini menjadi hal wajar ketika pemahaman dan pendalaman teologi klassik tidak lagi sanggup memberi manfaat yang signifikan terhadap kemajuan islam kontemporer.
Gagasan teologi pembebasan sebagai sebuah wacana memang pertama kali digulirkan oleh Gustavo gutierrez ditandai dengan lahirnya karya berjudul –teologia de liberacion- pada tahun 1971 M, namun dalam prakteknya islam sejak pertama kali turun dan Muhammad sebagai pembawa ajaran islam telah melakukan spirit ketuhanan sebagai bentuk liberation force atau pembebasan atas masyarakat yang terdzalimi dan tertindas. Dalam ajaran islam terutama dalam masa awal diutusnya Muhammad Saw ditekankan pada dua hal pokok yakni tauhid atau seruan untuk bertuhan pada Sang Esa dan pembebasan masyarakat dari kekacauan kondisi arab waktu itu. Islam mengangkat harkat dan derajat kaum wanita terutama anak perempuan dari penindasan akan kekhawatiran aib dan jatuh miskin. Para budak mendapat tempat sebagai manusia yang sejajar dengan manusia yang lain dimata Tuhan yang maha Kuasa ditengah kondisi struktur sosial yang menempatkan mereka nyaris seperti hewan yang hanya hidup untuk dipekerjakan dan jasa yang dihasilkan cukup dibayar dengan sepiring makanan dari para majikan. Dalam konteks ekonomi, islam dengan dengan lantang menentang para penumpuk harta (kapitalis) yang senantiasa silau dengan harta yang didapat dan senantiasa menghitungnya ditengah kondisi para saudagar-saudagar kaya adalah adalah orang-orang yang dianggap terhormat dan bersikap arogan. Lebih parahnya, mereka menjadikan agama sebagai legitimasi posisi kelas mereka dengan menciptakan tuhan berupa berhala dari benda-benda yang cenderung mewah dan mahal seperti patung dari emas, atau seperti makanan yang ditumpuk menggunung kemudian disembah, hal yang nyaris tidak mungkin dilakukan oleh orang-orang miskin sehingga dengan kekayaan yang dimiliki menjadi alat menindas kaum yang lemah tidak hanya dalam aspek akumulasi profit, namun juga dalam aspek kedekatan dan penghambaan mereka kepada tuhannya. Jadi, pelanggaran Hak asasi manusia seolah menjadi menu hidangan sehari-hari dan parahnya seolah mendapat legitimasi pembenaran dari agama. Maka tidak ada alasan bagi islam pada saat itu untuk menjadikan islam dengan semangat teologinya sebagai pembebasan dari struktur jahiliyah yang sangat kacau.
Wacana teologi pembebasan memang perlu untuk dijadikan bagian dari khazanah perkembangan pemikiran teologi islam kontemporer, namun tidak kalah penting juga untuk merumuskan teologi transformatif. Berbeda dengan teologi pembebasan yang lebih radikal dan revolusioner dalam mebawa perubahan bagi struktur masyarakat, teologi transformatif merupakan analisa-analisa perubahan masyarakat pada bentuk baru seiring perubahan zaman. Dalam arti, teologi transformatif tidak memaksakan perubahan secara cepat seperti layaknya teologi pembebasan karena kondisi sosial yang berbeda. Ia lebih mengarah pada penyesuaian-penyesuaian struktur masyarakat seiring perubahan dan pergeseran nilai yang terjadi. Dalam prakteknya, teologi transformatif ini kita baca dari cara Muhammad SAW melakukan penataan masyarakat Yatsrib (nama kota madinah sebelum dirubah oleh Nabi) menjadi sebuah tatanan masyarakat madani yang bersifat multikultural, multietnis dan bahkan multiagama dalam bingkai persatuan demi kebaikan bersama. lebih dari pada itu, teologi transformatif adalah bentuk respon atas perubahan yang niscaya terjadi dalam struktur masyarakat. Setiap struktur masyarakat mempuyai elemen penting sebagai penunjang terwujudnya masyarakat madani dan elemen terpenting dari semua elemen adalah kepastian dan kebenaran, tanpa keduanya maka masyarakat akan mengalami krisis dan tidak menentu arah tujuan yang ingin dicapai. Masyarakat akan mampu kokoh jika kepastian dan kebenarannya masih sesuai dengan zaman, namun seiring perubahan zaman, kebenaran yang dulunya dianggap sesuai tidak lagi relevan dengan kondisi terbaru maka ia akan menjadi dogma lama yang usang dan tak bermanfaat, jika kevakuman akan kebenaran baru terjadi maka masyarakat akan mengalami krisis dan mendesak untuk segera lahirnya kebenaran baru yang sesuai dengan tuntutan zaman terkini. Teologi atau tauhid sebagai bentuk keimanan akan Dzat yang Maha mutlak kebenarannya, hendaknya menjadi spirit dalam menelurkan kebenaran yang selalu sesuai dengan perubahan atau perkembangan zaman, jadi sejatinya masyarakat yang bertauhid adalah masyarakat yang selalu dinamis inilah tujuan dari teologi transformatif.
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa perkembangan teologi sebagai disiplin ilmu menjadikan masyarakat sebagai objek. Dalam konteks masyarakat yang bobrok secara moral dan struktur didalamnya, maka teologi (tauhid) menjadi semangat pembebasan (teologi pembebasan) dengan membuat perubahan-perubahan radikal dan revolusioner. Adapun dalam konteks masyarakat yang tidak demikian, maka teologi transformatif adalah paradigma yang lebih tepat terutama dalam hal merespon perubahan dan melakukan pembangunan. Kita yang hidup dalam kondisi indonesia seperti sekarang dituntut untuk jeli melihat kondisi kemasyarakatan dan kebangsaan kita, apakah indonesia kini seperti masyarakat arab dimasa jahiliyah, ataukah seperti masyarakat madinah. Semangat teologi mempunyai power yang luar biasa, dimana seseorang rela melepaskan nyawanya sebagai bentuk pengorbanan dan pembelaan agama tuhan seperti yang pernah dilakukan sahabat nabi pada saat-saat perang, maka jangan sampai kita salah membaca kondisi bangsa dan menerapkan teologi sebagai jalan menuju salah satu bentuk perubahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun