Perempuan Cina Itu Membuatku Bahagia Sekaligus Terluka (III)
Pertemuan demi pertemuan yang terjadi antara kami telah menjelaskan kepadaku tentang arti sebuah kedekatan. Dalam waktu-waktu sebelumnya, dia bagiku tak lebih seperti seorang teman biasa dan bagaikan seorang saudara. Tapi sekarang aku merasakan suatu perasaan aneh muncul, yang lebih manis daripada kasih sayang persaudaraan. Suatu perasaan yang tidak lazim, tentang kerinduan dan rasa takut memenuhi hatiku dengan penderitaan dan kebahagiaan.
Apakah kesepian telah membutakan mataku akan kewajaran dan membuatku menginginkan keindahan matanya, senyumnya yang manis dan jemarinya yang halus? Ataukah keindahan, kemanisan dan kelembutannya yang telah membuka mataku dan memperlihatkan kepadaku akan kebahagiaan dan penderitaan cinta?
Itu adalah pertanyaan yang sukar untuk dijawab, namun hatiku berkata sejujurnya bahwa di saat aku merasakan sesuatu yang belum pernah kurasakan, ada sebentuk kasih sayang yang datang bersemayam dengan tenangnya di lubuk hatiku. Seperti roh dari cinta, kebahagiaan dan penderitaan itu, yang melayang-layang dalam dunia ciptaan di atas permukaan air.
Semenjak itu aku jadi mengerti, rupanya masih ada yang lebih tinggi dari kahyangan dan lebih dalam dari samudera, yang lebih ganjil dari hidup, kematian dan perjalanan waktu. Kini aku tahu, apa yang sebelumnya aku tidak tahu. Dia telah menjadi bahan pemikiran bagiku dan dia datang sebagai sebuah sergapan emosi dan sekaligus sebagaimimpi indah yang menjadi nyata dalam jiwaku.
Hanya saja setiap kali kumenatap sekeping cermin di dinding rumah, mengingatkanku pada sesuatu yang menakutkan. Sebab di setiap berakhirnya pertemuan kami, sudah menjadi kebiasaannya untuk sejenak berdiri di depan cermin itu. Cermin yang selalu bercerita kepadaku tentang sisa-sisa perbedaan kami, tentang Cina dan pribumi menurut sepotong cermin, ketika aku menyusul di sampingnya. Perbedaan yang menghantui setiap kurasakan keanehan dan ketidaklaziman yang menggetarkan, perbedaan yang kuanggap sebagai jurang pemisah, yang kedalamannya menghilangkan kesanggupanku untuk menyeberangi.
Dan juga perbedaan itulah yang telah membuatku mulai berpikir tentang pungguk dan burung laut, tentang emas dan tembaga, serta tentang keberadaanku di muka bumi sementara dia di langit sana.
Namun ingatan akan kekagumanku padanya telah membuatku tak peduli. Getaran yang mendebarkandi dadaku lebih besar kekuatannya di banding kesangsian-kesangsian yang menyertainya, sehingga tak pernah sanggup untuk menghapuskannya. Karena getaran itu adalah suatu kekuatan yang maha dahsyat, yang dengan itu Taj Mahal berdiri kokoh dalam keabadian di tanah India, rasa seperti itu telah membuat Qais rela melepas kehidupannya dengan berkubur di hamparan Sahara sana. Dan perasaan seperti itu pulalah yang telah meluluhkan hati seorang Gibran sehingga sanggup menulis bait-bait indah penuh ajakan :
Pabila cinta memanggilmu, ikutilah dia,
walau jalannya terjal berliku-liku
Dan pabila sayapnya merangkulmu, pasrahlah serta menyerah,
walau pedang tersembunyi di sela sayap itu melukaimu
Dan jika ia bicara kepadamu, percayalah,
walau ucapannya membuyarkan mimpimu,
bagai angin utara mengobrak-abrik petamanan
Sebab sebagaimana cinta memahkotaimu.
demikian pula ia membunuhmu
Demi pertumbuhan, begitu pula demi pemangkasanmu. *)
Ajakan itulah yang telah membuatku berani meninggalkan kegamangan untuk utarakan perasaanku. Perasaan yang berangkat dari setumpuk keraguan. Semoga dia bisa memahaminya (bersambung)
*) Khalil Gibran
Audio of Cerita Dalam Sepotong Cermin
Sebelumnya :
DUA : Hadiah Sang Penyair
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H