Takdinyana lagi, dengan menyebut nama Kartini saja, maka segala halyang dianggap punya keterkaitan dengannya akan segera terungkap. terkenal dengan cita-cita luhurmengenai persamaan hak perempuan itu, Kartini terlanjur jadi simbol.
Sebagailambang pemberontakan kaum perempuan atas nilai-nilai yang mengungkungnya, Kartini terbilang “keren” sebagai simbol. Bahwa betapa hanya dengan berkostumkan kebaya dan konde, Kartini telah jadi sosok pendekar, yang bersenjatakan pena dan kertas untuk menyatakan buah pikirannya, demi memberangus nilai dan adat yang mengkerangkeng hak dan kebebasan perempuan ketika itu. Kartini pun jadi eksentrik, tanpa harus harus bertampang mirip Xena yang perkasa, atau sang wonder woman yang punya kekuatan super ajaib.
Tapi Kartini, jelas bukanlah pribadi yang berdiri sendiri, sebab orang-orang terdekat, dan masyarakat yang hidup pada zamannya praktis turut memberi andil dalam menguatkan letupan pemberontakan intelektualnya.
Kartini berontak karena zamannya tidak memperbolehkan perempuan untuk sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, mengejar karir di luar rumah, apalagi sampai menduduki jabatan strategis dalam masyarakat. Perempuan pada masa Kartini, adalah mahluk pasif terkecuali untuk urusan “sumur, dapurdan kasur”.
Memang, sudah sedari dulu perempuan terlanjur jadi “obyek terlarang”yang serba terbatas. Makanya sedari dulu juga “mahluk tuhan paling sexy” ini acap di jadikan ajang eksplorasi bahkan eksploitasi bagi kaum adam.
Dalam keestetisan batin laki-laki, telah tercatat ribuan puja-dan puji pada perempuan, yang diekspresikandengan beragam karyaseniagung,sampai pada bentuk lagu cinta picisan. Namun dalam sisi gelap kaum pria yang juga berpeluang amoral , turut tercermin pula perilaku yang melecehkan perempuan, mulai dari bagian-bagian tubuhnya yang amat mudah menyulut birahi , sampai tindak kekerasan dalam berbagai tataran yang mengatasnamakan budaya paternalisme.
Pun dalamdoktrin agama, perempuan di antaranya adalahsosok yang mewakili kemalapetakaan. Pada ketiga kitab agama langit (Yahudi, Nasrani dan Islam), dikisahkan ihwal kejatuhan adam dari taman firdaus, hanya gara-gara memetik dan memakan buah khuldiyang diinginkan hawa atas godaan iblis.
Dan Kartini berupaya untuk menyanggahnya, bahwa perempuan mampu jadi subyek yang konstruktif.Dalam keterkungkungannya yang serba sunyi itu, Kartini bercuap-cuap dalam pikiran dan angannya, lalu menuangkannya dalam ratusan surat berisi curahan hati seorang perempuan Indonesia, kepada sejumlah bule Belanda yang terus memotivasinya.
kita yang hidup di kekinian zaman ini, masih terngiang-ngiang dengan apa yang dilakukannya . Maka segala keterngiangan itu, hingga kini kita peringati dalam momentum 21 april, tanggal kelahirannya.
Fashion Ala Kartini
Dalam momentum tersebut, berbagai macam ekspresi telah tertuang, dari parade busana Kartini ala taman kanak-kanak, beragam pameran karya perempuan,lomba paduan suara sampai perhelatan panjat kelapa antar perempuan se desa atau kecamatan. Sungguh kita mempunyai kekayaan interpretasi dalam menerjemahkan arti cita-cita dan segala sesuatu yang berbau Kartinisme, dari yang acara yang remeh temeh sampai yang paling berbobot sekalipun.
Setiap tahun, Kartini kembali memperingatkan kita, meski ia hanya bicara dalam bahasa yang masing-masing kita pahami atas cita-citanya. Tapi apakah semua pemahaman dan ekspresi tersebut sudah bisa dikatakan dapat mewakilinya? Tunggu dulu.
Perempuan ibarat dua sisi mata uang, perpaduan sosok yang bisa dipuja atau dicerca, ketika surga dikatakan berada di bawah telapak kaki ibu, maka konon setan di antaranya lebih senang menggoda laki-laki untuk melakukan dosa lewat pesona perempuan.
Memang, Ibu yang ideal adalah sosok perempuan yang bisa menyuguhkan sebuah surga bagi kehidupan. Dan ibu kita kartini adalah sebuah inspirasi dengan bobot yang cerdas, tentang gambaran surga bagi bangsa yang ternyata masih dirudung oleh dua fenomena, yaknipenjajahan dan kebodohan sistematik ini.
Dan efek terburuk dari kedua fenomena itu, sadar tak sadar kita rasakan; bangsa ini telah banyak kehilangan daya kreatifitasnya, kita cukup lama menempatkan diri sebagai konsumen, yang hanya bisa melahap produk-produk hasil budaya instan sistem kapitalisme global tanpa terlebih dahulu menelitinya.
Dalam sistem tersebut, nilai apapun teramat mudah dijungkirbalikkan, termasuk nilai yang terkandung dalam segala kode jenis kelamin.
Jika sistem tersebut menyatakan bahwa perempuancantik kontemporer adalah yang berambut kribo dan dan bermata besar, maka seluruh wanita dunia akan berusaha mengikutinya sebagai sebuah trend,jika kemarin lelaki perkasa itu harus berotot dan sangar, bisa jadi hari ini sosok pria macho justru yang berbadan ceking dan culun. Selera pasar ada di tangan para imajiner dan para penguasa modal.Trend dalam bisnis yang memanfaatkan stereotip seks tersebut, akhirnya jadi kenikmatan tersendiri bagi laki-laki dan perempuan.
Dalam ranah feminisme kontemporer, sebenarnya dunia fashion cukup mendapat perhatian dan ulasan. Tokoh feminis Simone de Beauvoirdalam karya tulisnya “The Second Sex” di antaranya mengutuk budaya fashion yang mereproduksi stereotip seksis yang menyudutkan perempuan.
Meski begitu, sebagian feminis menyatakanbahwa fashion dapat menjadi halkonstruktif yang secara tersirat membela hak-hak perempuan, misalnya dalam kampanye untuk mendapatkan hak pilih, perempuan bisa mengenakan pakaian yang modis untuk membentuk persepsi dan dan rasa hormat masyarakat terhadap gagasan-gagasan yang dilontarkannya .
Pada konteks ini, kartini-kartini yang ingin bercuap-cuap di masa kini, tentunya harus tertantang untuk tidak mengatasnamakan emansipasi lewat visualisasi diri yang semu, dalam artian bahwa penampilan luar lebih dipentingkan dari isi yang terkandung di dalam, yang akhirnya hanya melahirkan pernyataan dan sikap klise yang sudah bisa ditebak kemana arahnya.
Sangat disayangkan, perempuan yang terpengaruh oleh brand image gerakan kaum feminis, justru terjebak pada radikalisme yang tak sesuai konteks, tak jarang malah membuat laki-laki merinding ketakutan. Telah terjadi peristiwa balas dendam antar kode jenis kelamin yang tadinya ditakdirkan untuk hidup berpasangan tersebut.
Padahal feminisme, sepemahaman saya, tak lain adalah aksi intelektual, yang jika harus berbenturan, justru akan melahirkan dialektika yang dinamis.
Feminisme, juga bukan kesemena-menaan perempuan memproklamirkan superioritasnya, seperti yang terdapat pada lirik-lirik lagu pop yang justru menyarankan perselingkuhan, atau luapan kepuasan setelah berhasil menipu laki-laki.
Feminisme, adalah sebuah ikhtiar yang terus berupaya mencari keharmonian hak dan kewajban antara dua stereotipe kelamin, feminin dan maskulin.
Maka perempuanku, jadilah kau ibunda yang memberi keindahan yang agung bagilaki-laki,sebab ada pepatah yang menyebutkan bahwa lelaki adalah bayi berkumis, meski gagah perkasa, namun lemah tak berdaya menatap pesona cinta di balik mata seorang wanita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H