Apa Kabar Pendidikan Karakter?
Pada tanggal 20 Mei 2011 Presiden RI masa itu SBY mencanangkan Program Pendidikan Karakter. Presiden SBY menyampaikan bahwa kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh dua factor yaitu keunggulan pemikiran dan kehebatan karakter. Program ini dicanangkan pada Hari Kebangkitan Nasional karena didasari oleh kesadaran bahwa bangsa Indonesia bisa bangkit di era modern ini dengan melakukan perbaikan karakter pada seluruh lapisan masyarakat dan dimulai di sekolah. Maka disusunlah kurikulum pendidikan yang terintegrasi dengan muatan karakter yang masuk pada seluruh mata pelajaran.
Empat tahun berlalu setelah program ini dicanangkan ternyata apa yang ingin dicapai melalui pendidikan karakter belum menunjukkan kemajuan yang menggembirakan. Salah satu contohnya adalah pelaksanaan Ujian Nasional. Pada tahun 2015 ini Mendikbud telah memutuskan bahwa Ujian Nasional tidak menjadi penentu kelulusan dan dipergunakan untuk pemetaan kualitas pendidikan sehingga diharapkan sekolah menyelenggarakan Ujian Nasional secara jujur. Jangan lagi ada yang melakukan kecurangan dengan mengedarkan kunci jawaban, kerja sama dan cara lain yang terlarang.
Namun apa yang terjadi. Masih jauh panggang dari api. Dari data index integritas ditemukan masih banyak sekolah, kab/kota dengan tingkat kecurangan yang tinggi. Kota Makassar saja dari data yang dirilis oleh Kemendikbud bahwa hanya 34% siswa yang mengerjakan soal dengan jujur. Jadi ada 66% yang curang. Luar biasa. Mengapa terjadi seperti ini? Apa yang salah dari pendidikan kita? Padahal nilai UN tidak lagi menentukan kelulusan seperti sebelumnya. Apakah kecurangan memang sudah menjadi budaya?
Mari tengok kembali tujuan pendidikan nasional kita. Di dalam Pasal 3 UU Sisdiknas 2003 disebutkan :
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Mengembangkan kemampuan dan membentuk watak adalah dua fungsi utama pendidikan. Apa hasilnya? Dari hasil survey PISA (Programme The International Student Assessment) yang dilakukan terhadap 65 negara di dunia posisi Indonesia berada di urutan 64. Jadi mengembangkan kemampuan belum berhasil. Bandingkan dengan China, Singapura, Korea, Jepang bahkan Vietnam yang masuk 10 besar. Jadi pendidikan kita belum berhasil menjalankan fungsinya dengan baik. Apalagi dalam membentuk watak. Lihatlah kehidupan social bangsa kita. Hampir 20 tahun memasuki era reformasi tapi ternyata hanya ganti kulit saja. Korupsi masih tetap tumbuh dan berkembang di semua lapisan, sampai rakyat juga ikut-ikutan korupsi melalui money politics.
Apakah masih ada harapan? Tentu saja kita sebagai manusia yang beriman tidak boleh putus asa, pesimis apalagi sampai frustrasi. Kita harus yakin bahwa sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Kita harus yakin bahwa semua masalah ada solusinya asalkan kita mau sungguh-sungguh mencarinya. Lakukan evaluasi diri (muhasabah) dengan jujur. Lalu melakukan perbaikan sekecil apapun, mulai dari diri sendiri, mulai dari yang kecil dan mulai dari saat ini. Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga dia mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Apa itu? Mengubah sikap mental dan kesadaran bahwa semua itu salah dan harus ditinggalkan. Jangan benarkan yang biasa, tapi mari biasakan yang benar.
Makassar, 23 Juni 2015
syamril
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H