Pada artikel sebelumnya dibawah judul "Pemberantasan Korupsi Oleh Pasangan Capres Belum Jelas". Pada artikel ini saya coba memberi gambaran bagaimana upaya pemberantasan korupsi dari rezim ke rezim. Apa implikasinya terhadap kehidupan masyarakat.Masih muncul pertanyaan mengapa negeri ini tidak pernah bebas dari ancaman para pemimpin yang korup.
Sistem demokrasi memberi peluang yang seluasnya kepada setiap warga negara untuk ikut serta menentukan arah politik negara melalui mekanisme Pemilihan Umum. Mekanisme ini pula yang membuka akses setiap warga negara untuk tampil sebagai pemimpinnya. Istilahnya, demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat untuk rakyat.
Dalam konteks demokrasi seperti diatas, manakala ada pemimpin yang korup apakah pemimpin tadi tidak berasal dari rakyat? Tentu tidak. Mengapa para pemimpin ini korup? Apakah karena berasal dari rakyat yang korup juga? Apakah kita kita ini sudah menjadi bangsa dengan budaya korup? Renungkanlah adagium " domba tidak akan memilih serigala sebagai pemimpinnya"
Masih banyak lagi realitas empirik yang mestinya patut dipertanyakan. Contoh aktual, ketika Gubernur Jawa Tengan Ganjar Pranowo marah besar, memergoki "kenek" yang menyogok petugas Dinas Perhubungan, gambaran umum yang tak terbantahkan. Namun kita enggan jujur mengakuinya.
Upaya pemberantasan korupsi Era Orde Lama.
Upaya pemberantasan korupsi sudah dimulai oleh pemerintahan Kabinet Djuanda. Ensiklopedi Wikipedia Indonesia.org mencatat di masa Orde Lama, dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi. Yang pertama, dengan perangkat aturan berdasarkan Undang Undang Keadaan Bahaya, lembaga ini disebut Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran). Badan ini dipimpin oleh Jenderal Abdul Haris Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota, yakni Prof. Muhammad Yamindan Roeslan Adbulgani.
Kepada lembaga inilah semua pejabat harus menyampaikan data mengenai kekayaan pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir yang disediakan. Perlawanan para pejabat korup pada saat itu adalah bereaksi keras dengan dalih yuridis bahwa dengan doktrin pertanggungjawaban pejabat negara adalah secara langsung kepada Presiden RI, bukan kepada Perdana Menteri.
Ujungnya tetap mati langkah alias deadlock, formulir itu tidak mereka serahkan kepada Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) karena lembaga ini berada dibawah kantor Perdana Menteri Djuanda. Dengan alasan yuridis mereka menyerahkan langsung kepada Presiden. Kondisi selanjutnya terjadi kekacauan politik, Paran berakhir tragis, deadlock, dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda
Selanjutnya upaya pemberantasan korupsi oleh Presiden Soekarno ketika itu memerintahkan Operasi Budhi.Pada 1963 melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kordinator Pertahanan / Kepala Staf ABRI, dibantu oleh Wirjono Projodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan Operasi Budhi. Kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni menyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktek korupsi dan kolusi.
Lagi-lagi alasan politis menyebabkan kemandekan, seperti Direktur Utama Pertamina yang tugas ke luar negeri dan direksi lainnya menolak karena belum ada surat tugas dari atasan, menjadi penghalang efektivitas lembaga ini. Operasi ini juga berakhir, meski berhasil menyelamatkan keuangan negara kurang-lebih Rp 11 miliar.
Operasi Budhi ini dihentikan dengan pengumuman pembubarannya oleh Soebandrio, kemudian diganti menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) dengan Presiden Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandriodan Letjen Achmad Yani. Bohari pada tahun 2001 mencatatkan bahwa seiring dengan lahirnya lembaga ini, pemberantasan korupsi pada masa Orde Lama pun kembali masuk ke jalur lambat, bahkan macet.
Upaya pemberantasan korupsi pada era Orde Baru
Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada 16 Agustus 1967, Soeharto terang-terangan mengkritik Orde Lama, yang tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan demokrasi yang terpusat ke istana. Pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai oleh Jaksa Agung Soegiharto.
Namun, ternyata ketidak seriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Presiden Soeharto untuk menunjuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof Johannes, I.J. Kasimo, Mr. Wilopo, danA. Tjokroaminoto, dengan tugas utama membersihkanDepartemen Agama, Bulog CV. Waringin, PT. Mantrust, Telkom, Pertamina dan lain-lain.
Empat tokoh bersih ini jadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus korupsi di Pertamina misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah. Meskipun akhirnya Ibnu Sutowo diberhentikan langsung oleh Presiden Soeharto dari jabatan Direktur Utama Pertamina menggantinya denga Piet Harjono.
Pertamina meninggalkan warisan utang kepada IGGI ( Intergovernmental Group on Indonesia) senilai USD 10,5 miliar. Presiden Soeharto kemudian mengganti komite Empat ini dengan memerintahkan Operasi Tertib atau Opstib, bersamaan dengan Laksamana Soedomo yang diangkat sebagai Pangkopkamtib. Lemahnya posisi Komite Empat ini pun menjadi alasan utama.
Pelaksanaan Operasi Tertib (Opstib) secara umum dan diantaranya adalah pemberantasan korupsi. Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top down . Apakah pemberantasan korupsi lebih focus kepada para pejabat diatas saja atau mulai dari petugas pelaksana birokrasi pada tingkat pailing bawah, reaitas kondisi social ekonomi masyarakat.
Sebab ketika itu sangat intens kegiatan yang disebut pungutan liar atau Pungli yang sangat meresahkan masyarakat. di kalangan pemberantas korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan pemberantasan korupsi, sehingga Opstib pun hilang seiring dengan makin menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana Orde Baru.
Upaya pemberantasan korupsi pada Era Reformasi
Di era transisi reformasi, usaha pemberantasan korupsi oleh Presiden B.J. Habibie diawali dengan inisatif mengajukan rancangan Undang Undang tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme KKN). RUU ini segera disahkan oleh DPR RI menjadi UU Nomor 28 Tahun 1999. Langkah konkrit diantaranya pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara(KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman.
Presiden berikutnya, Abdurrachman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantas Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun, di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu judicial reviewMahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan karena Peraturan Pemerintah tersebut menabrak UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Sekarang hanya KPK lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI