Meski dipersepsikan sebagai orang bodoh karena nggak makan sekolahan tapi faktanya ia seorang saudagar kaya raya. Bernasib berlian, selalu bersinar ketika berdagang and last but not least sang saudagar seumur hidupnya tak pernah merugi. Apakah dia senang dan bahagia. Ternyata tidak juga. Apa problemya yang membuatnya bersedih. “ Itulah masalah saya, sangat ingin bagaimana rasanya jadi saudagar bangkrut. Perniagaan saya selalu menghasilkan keuntungan meski orang lain merugi dan bangkrut” Demikian kurang lebih curhatan sang saudagar kepada “ekonom” kelas dunia. Dongeng enterprenuership negeri antah berantah.
Dulu ketika krisis moneter melanda negeri, semua pabriknya Tangsel terpaksa tutup. Produk tidak laku karena daya beli rakyat lampah lumpuh. Sementara utang investasi bengkak dihantam rente yang tak kenal kompromi. Ringkas kata semua pabriknya yang pidusia sebagai jaminan bantuan likuiditas disita pemerintah. Seluruh asset berupa pabrik disita untuk melunasi uang Negara. Yah apa boleh buat kata sang saudagar sambil tersenyum. Lho kok…Ya iyalah sesuai doa sendiri yang kepingin bangets begamana merasakan jadi orang yang bangkrut. si boss bangkut bukannya bersedih tetapi malah seperti senang…konon karena doanya makbul…blas bangkut tenan. Entahlah apakah memang begitu ciri seorang saudagar yang punya intergritas. Meskipun seluruh asset berupa kompleks pabrik disita “badan penyehatan nasional”. Tapi perseroan dengan nama Petro Angin Sampur Ltd. tetap dipertahankan. Mari kita tunjukan bagaimana berjuang untuk kembali kibarkan bendera korporasi ini” katanya memberi semangat kepada para karyawan pabrik dan unsur manajemen lainnya.
Sementara pada sector lain pemerintah setelah menyita pabrik lantas menyerahkan komplek pabrik sitaan untuk dikelola oleh badan usaha milik pemerintah ( BUMP). Begitulah prosedur dunia birokrasi. Akan tetapi menghelola usaha manufacturing, mengelola pabrik tidak semudah menulis analisis ekonomi untuk mengisi kolom di Koran atau media on line. Dikelola oleh BUMP justru pabrik semakin amburadul, produknya ancur ancuran, berharap untung ternyata buntung kena kutukan budaya korupsi. Pabrik yang semula dinilai mencapai 4 triliun ketika Nota Lunas Utang Bantuan Likuiditas diteken, kini nilai aktualnya hanya tersisa satu triliun, mrosot drastis hingga 75% akibat dikelola oleh birokrat dan "orang partai".
Selanjutnya seperti sudah diukur dan ditimbang BUMP tidak akan mampu mengelola pabrik karena tidak didukung SDM yang menguasai teknologi dan manajemen industry. Tak lama berselang pabrik masuk Koran dalam bentuk iklan lelang. Sang saudagar yang berintegritas tersenyum simpul membaca iklan lelang mantan pabriknya. Inilah saatnya bangkit dari kursi goyang, angkat telpon sama Lie Hay Hok di Singapore. Berbekal Nota Lunas Utang Bantuan Likuiditas sebagai modal negosiasi di Singapore. Cari investor senilai satu triliun atas proposal buy back pabriknya di Tangsel.
Satu triliun untuk komplek pabrik senilai 4 triliun, investor dapat bagian 46% saham Petro Angin Sampur Ltd. Masih ada lagi bonus berupa posisi Presdir untuk tiga tahun pertama merupakan pesona yang menggirahkan. Sang saudagar beritegritas menguasai 49% saham pada posisi Preskom. Sisanya 5% untuk komisaris “independen” he he he nggak usah dianalisa siapa figurnya. Okay…agree…signed…let’s move on.
“Krisis ekonomi sebagian besar bukanlah musibah..tetapi peluang” Mengapa krisis bagi banyak orang adalah musibah tetapi boss juteru menyebutnya sebagai peluang. Saudagar berintegritas dengan kalem menyahut pertanyaan manajernya. Karena mereka tidak menyadari bahwa menyita pabrik pada masa krisis justeru mengambil alih resiko yang mestinya kta tanggung. Jika mereka tidak menyitanya belum tentu bendera Petro Angin Sampur Ltd kembali berkibar di Tangsel ini. Kita tak mampu menanggung resiko yang muncul akibat reformasi politk. Kita adalah pedagang dan pasti bukan politisi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H